Sabtu, 29 Agustus 2009

perbatasan tim-tim

ITFET atau indonesia memakai peta thn 1946 skala 1:100.000 buatan australia yg didasarkan pada data tahun 1936-1938. INTERFET memakai peta thn 1993 skala 1:25.000 yg telah dimodifikasi menjadi 1:50.000 buatan bakosurtanal. (insiden saling tembak antara indonesia-australia di desa Mota'ain Timor Barat tahun 1999 karena salah paham membaca tanda perbatasan di peta) what a tragic!


http://www.facebook.com/home.php?#/profile.php?id=1237173724&ref=nf

Senin, 01 Juni 2009

ambalat : A Spatial Perspective



During March 2005, bilateral relationship between Indonesia and Malaysia escalates. The rising matter relates to Malaysia’s claim over Ambalat area located in the east of Borneo Island, while Indonesia, in the other side, is sure the area belongs to Indonesia.

Reactive responses come from most of Indonesians because they, generally, believe that it is another manifestation of Malaysia’s greediness. This is understandable since Malaysia won the case on Sipadan and Ligitan (two islands located near Ambalat) over Indonesia in 2002 causing Malaysia successfully took the two islands3. No matter what the reasons the ICJ proposed in deciding the case, most of Indonesian citizens are simply disappointed. Since such case is very sensitive, with regards to Ambalat case, people from both countries have to really understand the problem in terms of science, technique, and law.

This paper discusses the case of Ambalat in a spatial perspective and is aimed to provide better understanding for people especially the laymen. This will discuss briefly the principles of international maritime boundary; the history of Indonesia-Malaysia boundary; the latest status of Indonesia-Malaysia boundary, especially maritime boundary; status and problems of the Indonesia-Malaysia maritime boundary in the Celebes Sea; and an idea for Ambalat conflict resolution from the spatial point of view. Lastly, this ends with conclusion and suggestions.

<<> di blog Andi Arsana

sumber foto dan tulisan : http://geoboundaries.wordpress.com/2005/04/09/ambalat-a-spatial-perspective1/


Selasa, 05 Agustus 2008

PENDEKATAN HOLISTIK PERBATASAN

http://www.lukman-edy.web.id/article/2/tahun/2008/bulan/02/tanggal/02/id/112/

Sabtu, 02 Pebruari 2008 22:10:33

PENDEKATAN HOLISTIK PEMBANGUNAN PERBATASAN

  Sesuai dengan Strategis Nasional Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang mengacu pada RPJMN 2004-2009 telah ditetapkan adanya 26 kabupaten diwilayah perbatasan yang mencakup 12 provinsi. Baik itu perbatasan darat maupun perbatasan laut, yang kesemuanya masuk dalam kategori daerah tertinggal. Untuk itu KPDT memiliki konsen yang besar terkait dengan percepatan pembagunan di wilayah perbatasan. 


Harus disadari percapatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi ; (a) mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya. (b) mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya, (c) merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya, (d) mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional, (e) mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

Berdasarkan pada data yang dimiliki oleh KPDT, per akhir tahun 2006 total jumlah penduduk yang ada kabupaten-kabupaten di daerah perbatasan adalah 4,4 juta jiwa, atau rata-rata per kabupaten perbatasan sekitar 174.018 jiwa. Dengan persebaran penduduk rata-rata adalah 51 jiwa per 1 kilometer persegi. Hal ini menjukkan bahwa jumlah penduduk di daerah perbatasan relatif kecil, atau kurang sebanding dengan luas wilayahnya. Dan, secara lebih jauh, kondisi masyarakatnya adalah masyarakat miskin.

Percepatan pembangunan wilayah perbatasan harus mampu mendorong empat nilai penting, yakni kontribusi wilayah perbatasan terhadap pembangunan nasional, mengingat fakta menunjukkan bahwa kontribusi nilai tambah satu kabupaten perbatasan secara nasional, tidak sebanding dengan luas daerah dan proporsi penduduk di wilayah tersebut. Sementara arus uang yang ke luar dari wilayah perbatasan Indonesia ke negara tetangga biasanya lebih besar. Fakta ini banyak terjadi di daerah-daerah perbatasan darat, seperti yang terjadi di kabupaten-kabupaten di Pulau Kalimantan.  

Selain itu, mengembangkan daya tarik daerah perbatasan di Indonesia, terlihat dari arus tenaga kerja dan sumberdaya alam, persoalan un-official economy, baik dari arus sumberdaya alam maupun tenaga kerja yang keluar dari Indonesia. 

Pada sisi lain, masih dominannya kemiskinan di daerah perbatasan banyak di akibatkan oleh kecilnya arus investasi kendala struktural, dan serta asumsi tentang kewenangan di daerah perbatasan yang masih terpusat pada pemerintah Pusat. 

Secara sosial ekonomi, daerah perbatasan memang memiliki karakteristik yang lambat untuk berkembang, hal ini disebabkan antara lain oleh karena lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).  

Untuk itu, diperlukan pendekatan yang holistik dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah perbatasan. Tentunya dengan melibatkan semua stake holders, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat itu sendiri.

Salah satu gagasan yang bisa dikembangkan adalah dengan menghadirkan sebuah kerjasama atau aliansi antara daerah perbatasan, atau dengan istilah mengembangkan aliansi strategis pembangunan yang berbasiskan pada kawasan yaitu perbatasan. Hal ini sangat mungkin dilakukan, mengingat daerah tersebut secara geografis adalah berbatasan antar negara. 

Aliansi strategis berbasis kawasan perbatasan akan menguntungkan, karena adanya kesamaan latar belakang kultur, geografis, geopolitik termasuk geoekonomi. Dan, pola aliansi yang sangat mungkin dikembangkan adalah koopetisi yang berbasiskan potensi SDA, baik industri perkebunan, pertanian serta perikanan. Meskipun demikian, cakupan dalam aliansi strategis daerah perbatasan tersebut tetap harus mempertimbangkan aspek spacial ekonomic.

Ditambah dengan fakta bahwa biaya ekonomi bagi sektor Industri di Indonesia masih sangat tinggi. Seperti tingginya tingkat suku bunga yang mencapai 15-20 persen dan mahalnya biaya transportasi di pelabuhan, membuat biaya produksi dan biaya ekspor menjadi sangat tinggi. Hal ini sangat menyulitkan bagi industri skala kecil dan menengah untuk bersaing. Belum lagi senantiasa terjadi peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) yang kesemuanya berakumulasi pada biaya tinggi. 

Beberapa keuntungan yang didapatkan antara lain adalah efisiensi dan efektifitas biaya industri karena letak yang berdekatan, sehingga dalam pengelolaan industri yang bersifat komplementer dilakukan dengan biaya yang lebih murah ketimbang berkongsi dengan daerah lain yang secara geografis berjauhan, meskipun berada dalam satu negara.

Hal lain yang perlu ditekankan dalam percepatan pembangunan daerah perbatasan adalah landasan atau payung hukum dalam pengelolaan kelembagaan masayarakat, serta penataan ruang daerah perbatasan. Perlu aturan main yang jelas dari pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh karenanya perlu ditetapkan Status Hukum Kawasan, dan Pembentukan Badan Pengelola. Selain itu, pendekatan kesejahteraan yang berjalan simultan dengan pendekatan keamanan perlu diterapkan dalam membangun kawasan perbatasan.

Dari aspek masyarakat juga perlu pengembangan sikap berpikir masyarakat, agar dapat memanfaatkan ekonomi perbatasan ke arah keuntungan masyarakat lokal, atau melalui pendidikan kewirausahaan di daerah perbatasan. Hal ini bisa dilakukan dengan (1) memungsikan wilayah-wilayah potensil di kawasan perbatasan, menentukan sektor dan komoditas unggulan, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi; (2) menerapkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat di perbatasan; (3) mengembangkan lembaga-lembaga keuangan lokal (bank dan non bank) yang diatur secara profesional agar dana dari daerah ini tidak keluar dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. 

Dengan demikian, diharapkan bahwa proses percepatan pembangunan daerah perbatasan mampu membalikkan arus keuntungan kepada masyarakat perbatasan, sehingga masyarakat perbatasan dapat menjadi pusat pertahanan yang tangguh untuk membangun kawasan perbatasan itu sendiri.

Sabtu, 10 Mei 2008

Pengelolaan Batas Wilayah untuk Kedaulatan

sumber : http://tantrajournalist.blogspot.com/2008/03/pengelolaan-batas-wilayah-untuk.html


Rabu, 2008 Maret 26

Pengelolaan Batas Wilayah untuk Kedaulatan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Kedaulatan dan hak berdaulat adalah konsep penting terkait dengan kewilayahan. Indonesia memiliki perbatasan kedaulatan baik darat, laut dan udara maupun hak berdaulat seperti Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontingen dengan negara lain.
Adanya kedaulatan dan hak berdaulat atas wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan berbatasan dengan negara lain. Maka perlu adanya langkah penanganan wilayah perbatasan seperti penetapan wilayah negara, penyelesaian sengketa wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan dan penegakan wilayah hukum di perbatasan.


“Meskipun Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi Juanda, meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982, namun Indonesia masih belum menyepakati batas wilayah negara baik laut maupun darat dengan sejumlah negara tetangga. Karena itu Indonesia harus segera melakukan kesepakatan dengan negara tetangga untuk penetapan batas wilayah,” kata Guru Besar Hukum Internasional, FHUI, Hikmahanto Juwana, Jumat (14/3) dalam acara seminar nasional Regulasi Sektor Perdagangan Menyongsong Perdagangan Bebas Asean di Rektorat lantai III Untan.

Ia mengatakan saat ini Indonesia masih menegosiasikan penetapan batas wilayah dengan sejumlah negara. Ada yang telah diselesaikan dan diratifikasi oleh DPR seperti landasan kontinen dengan Vietnam dan sebagian batas laut teritorial Singapura. Pemerintah juga perlu mengidentifikasikan pulau-pulau terluar Indonesia, membuat pemetaan yang lebih akurat atas wilayah yang telah disepakati maupun yang masih dalam status klaim sepihak oleh Indonesia.
Untuk penyelesaian sengketa wilayah negara pemerintah perlu memperhatikan opsi-opsi yang dimiliki dalam penyelesaian sengketa wilayah seperti langkah diplomasi, meminta Mahkamah Internasional untuk menyelesaikannya sepanjang ada kesepakatan antarnegara yang bersengketa dan melakukan langkah mengembangkan status quo.

“Penggunaan kekerasan atau kekuatan militer bukanlah suatu opsi. Penggunaan kekerasan hanya bisa dilakukan bila ada pelanggaran status quo oleh negara lain,” ujarnya.
Yang terpenting, lanjutnya pemerintah perlu memastikan agar tidak ada pelanggaran status quo atas overlapping area. Pemerintah juga harus mengendalikan sensitifitas publik Indonesia terkait dengan masalah penyelesaian sengketa wilayah sehingga tidak memperburuk situasi.
Upaya pengelolaan wilayah perbatasan, perlu diintensifkan perdagangan perbatasan antarnegara tanpa mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dampak sosial masyarakat, terutama bila Indonesia berhadapan dengan negara yang lebih makmur juga perlu diperhatikan karena dikwatirkan ada eksodus orang dari wilayah yang kurang makmur dibandingkan dengan Indonesia.

“Terpenting penegakan hukum di wilayah perbatasan harus segera dilakukan,” ungkapnya.
Selama ini penegakan hukum kadang tidak berjalan karena adanya kepentingan oknum-oknum aparat hukum, insentif untuk melakukan pelanggaran hukum di perbatasan seperti penyelundupan baik orang maupun barang, kurangnya koordinasi, bahkan cenderung terjadi pertentangan antarinstansi.

Berbagai masalah yang terjadi merupakan tantangan ke depan dalam penanganan wilayah perbatasan, pemerintah perlu mensosialisasikan kepada publik adanya berbagai tantangan.
“Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mengamankan keutuhan NKRI dan memaksimalkan kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Upaya melakukan pengelolan wilayah perbatasan, Dekan Fakultas Hukum Untan, Garuda Wiko usai acara seminar mengatakan Kalbar sebagai provinsi yang memiliki perbatasan darat langsung dengan Malaysia, sejatinya memiliki karakter dan historisitas yang khas dalam menjalankan perdagangan antar negara. Border trade yang terjadi antara penduduk di wilayah perbatasan melalui PLB Entikong telah berlangsung sejak lama. Memang dari segi kualitas, hubungan perdagangan yang terjadi hanya dalam skala kecil. Tapi dari segi kualitas, praktek perdagangan telah membentuk penduduk di daerah perbatasan memiliki mentalitas sebagai warga yang biasa bersentuhan dengan dunia luar.

“Jadi sebenarnya penduduk wilayah perbatasan khususnya Kalbar memiliki bekal yang cukup untuk memasuki rezim perdagangan bebas,” katanya.
Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah daerah melakukan inisiatif dan kebijakan yang dapat mengakselerasi pengembangan daerah perbatasan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Garuda berpendapat langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah upaya pengembangan wilayah perbatasan dalam kerangka otonomi daerah. Langkah lain menyiapkan infrastruktur dan kelembagaan yang relevan dalam mengikuti perkembangan lingkungan strategis global. Pembangunan infrastruktur yang memadai serta keberadaan lembaga khusus yang memfokuskan diri pada pengembangan wilayah perbatasan diharapkan dapat menterjemahkan kekhasan daerah perbatasan sebagai garis pertahanan, batas wilayah sekaligus sebagai area perdagangan.

Selesaikan Sengketa Wilayah Negara

sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Legislatif&rbrk=&id=34277&postdate=2008-02-05&detail=



Legislatif
Hikmahanto: Selesaikan Sengketa Wilayah Negara

by : Friederich Batari
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah diminta untuk mengakomodasi empat hal pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Negara. Keempat hal itu adalah penetapan wilayah negara, penyelesaian sengketa wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan dan penegakkan hukum di wilayah perbatasan.

Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana saat Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD di Jakarta, Senin (4/2).

Menurut Hikmahanto, meskipun Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi Juanda dan meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur tentang Archipelagic State dan Indonesia merupakan peserta negara Konvensi Chicago 1944, namun Indonesia belum secara keseluruhan menyepakati batas wilayah negara baik laut maupun darat dengan sejumlah negara tetangga.

Untuk itu, ke depan dalam menetapkan batas negara perlu dilakukan kesepakatan antar negara yang bertetangga. Juga memperhatikan putusan Mahkamah Internasional apabila terjadi sengketa.

Dia berpendapat, penetapan batas wilayah tidak boleh terburu-buru. Karena ada kalanya negara yang berbatasan sengaja mengambangkan (status quo) akibat belum diperoleh kesepakatan. Namun dalam kondisi status quo bisa dilakukan joint management, seperti pada palung Timor, saat Timor-Timur masih menjadi bagian dari Indonesia dengan Australia.

Anggota PAH I DPD dari Provinsi Sumatera Barat Mochtar Naim mengusulkan agar pembahasan materi RUU Wilayah Negara dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Sehingga bisa mengatasi gap informasi antara masyarakat dan elite politik. n

Rabu, 07 Mei 2008

Pemetaan Batas Desa di Kabupatren Aceh Besar

sumber : http://mdarmawan-kenkyu.blogspot.com/2008/04/pemetaan-batas-desa-di-kabupatren-aceh.htm

Latar Belakang

Blang Bintang merupakan kecamatan pemekaran dari kecamatan Ingin Jaya, Montasik, dan Kuta Baro. Pemekaran kecamatan Blang Bintang dituangkan dalan Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor : 3 Tahun 2006. Di dalam Qanun ini disebutkan bahwa Blang Bintang berasal dari sebagian wilayah kecamatan Montasik, Kecamatan Kuta Baro, Kecamatan Ingin Jaya yang terdiri dari 26 desa. Pada pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa Batas wilayah Kecamatan Blang Bintang secara pasti di Lapangan ditetapkan oleh Bupati. Berdasarkan pasal tersebut maka GIS Center Kabupaten Aceh Besar bermaksud untuk melakukan identifikasi batas wilayah kecamatan Blang Bintang.

Langkah awal yang dilakukan untuk pengidentifikasian batas administrasi tersebut adalah pengumpulan data digital yang tersedia. Salah satu sumber data batas administrasi desa adalah BPS (Badan Pusat Statistik).

Data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) ada beberapa desa di kecamatan Blang Bintang yang masuk ke wilayah kecamatan lain, jadi tidak bisa dipakai sebagai acuan dalam pembuatan baseline data di GIS Center.


Pelaksanaan Kegiatan

Identifikasi batas kecamatan Blang Bintang dimulai dengan membuat data vector pointGIS Center) serahkan ke pihak kecamatan untuk memverifikasi batas wilayah dengan tokoh masyarakat, imum mukim, kepala desa di kecamatan Blang Bintang. Hasil verifikasi di atas kertas ini diberikan kembali kepada GIS Center dan GIS Center membuat kembali dalam format digital. Pekerjaan ini berlangsung dari bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007. Pada tanggal 3 Oktober 2007 kecamatan Blang Bintang membuat rapat Legalisasi Batas Desa. Hasil rapat tersebut dibuat dalam Berita Acara yang isinya menyebutkan bahwa mereka ingin memverifikasi batas tersebut dengan membuat patok sementara di lapangan dan patok tersebut berupa kayu ukuran 3x4 cm dengan panjang 30 cm. Penyediaan patok oleh pihak desa. Mereka meminta tim GIS Center kabupaten Aceh Besar untuk ikut serta mengambil titik GPS sesuai dengan patok yang mereka pasang. desa-desa di kecamatan Blang Bintang berdasarkan peta Topografi dari Bakosurtanal dan dipadukan dengan foto Citra Satelit. Pembuatan batas desa disesuaikan dengan peta sketsa blok sensus dari BPS. Kemudian hasil pengerjaan secara digital ini kami (

Pada tanggal 5 November 2007 tim GIS Center dengan tokoh masyarakat desa Cot Madi melakukan pengambilan titik GPS di batas desa antara Cot Madi dan kecamatan Kuta Baro, tetapi mereka tidak memasang patok yang disepakati. Kemudian tim GIS Center berkoordinasi lagi dengan pihak kecamatan dan mereka menyepakati untuk membuat patok sesuai dengan kesepakatan. Tim GIS Center mengambil 9 titik GPS di lapangan.

Tanggal 6 November 2007 kembali ke lapangan dan mengambil titik GPS di batas desa antara desa Cot Madi dan Kampung Blang dan mengambil 10 titik GPS.

Tanggal 15 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Geundret – Meulayo – Lamme – Kecamatan Kuta Baro – Kecamatan Ingin Jaya.

Tanggal 19 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Lamsiem – Meulayo – Cot Puklat – Kec. Ingin Jaya – Kec. Montasik.

Tanggal 20 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Puklat – Cot Geundret Kec. Montasik – Kec. Ingin Jaya.

Tanggal 21 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Meulangen – Cot Rumpun – Cot Mon Raya – Cot Jambo – Cot Hoho – Cot Karieng – Cot Nambak – Kec. Ingin Jaya.

Tanggal 22 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Rumpun – Cot Mon Raya – Cot Jambo – Cot Hoho – Cot Karieng – Cot Nambak.

Tanggal 6 Desember 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Bung Pageu – Cot Malem – Cot Karieng – Cot Sayuen – Cot Hoho – Cot Jambo.

Tanggal 10 Desember 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Bung Pageu – Teupin Batee – Cot Sayun – Cot Malem Cot Leuot – Cot Bagi.

Kendala di Lapangan

Rencana kegiatan survey lapangan dari tanggal 5 November 2007 sampai dengan tanggal 16 November 2007. Namun rencana tersebut tidak dapat dijalankan sesuai dengan jadwal karena terkendala adanya perselisihan tokoh masyarakat antar desa mengenai penetapan patok batas desa. Masalah ini sudah diserahkan ke pihak kecamatan untuk mengantisipasinya dan GIS Center kemudian dihubungi kembali dan melakukan survey dan pengambilan titik GPS dari tanggal 15 November 2007 sampai dengan tanggal 10 Desember 2007. Dan sampai batas waktu 14 Desember ada 10 desa yang tidak disurvey kembali karena terkendala dengan permasalahan penetapan patok batas antar desa.

Alat Bantu

Alat yang dipakai untuk survey adalah GPS Navigasi Garmin eTrex Vista HCx dan Mobile GIS PDA Trimble Recon. Untuk patok digunakan kayu balok ukuran 3x4 cm sepanjang 30 – 50 cm.

Tim GIS Center

  1. Tim yang ke lapangan terdiri dari :
  2. Tim GIS Center Kabupaten Aceh Besar (Ir. Zakaria ; Ir. Bayu Sumarno ; Nirwansyah, ST ; Mursidah , ST ; Rusmini, STP ; Anita Fitriyani ; Jamaluddin ; Winro Junaidi dan Isfandiari)
  3. Tim DED (Jochen Kranik dan Cut Susanti)
  4. Tim Bakosurtanal (Teguh Mulyadi dan Mustopa)
  5. Tim GTZ-SLGSR (Makmur Widodo dan Wanhar)

Rekomendasi Profil Kecamatan Blang Bintang

  1. Luas Kecamatan : 41, 75 km2
  2. Koordinat : 95° 23’ 4” – 95° 29’ 46” BT

5° 29’ 1,7” - 5°34’18,6” LU

  1. Batas Wilayah : Barat : Kec. Ingin Jaya

Timur : Kec. Mesjid Raya

Utara : Kec. Kuta Baro

Selatan : Kec. Montasik


Kota Jantho, 18 Desember 2007

Mengetahui :

1. Kepala Bappeda Kabupaten Aceh Besar Ir. Zulkifli R., M. Si NIP. 390 009 529

2. Team Leader Ir. Zakaria NIP. 080 127 974


Perbatasan Desa Ribut

Rebut Perbatasan Desa, Warga Lasoani dan Kawatuna Bentrok PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh abdee
Kamis, 18 Oktober 2007

sumber : http://www.beritapalu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid=60


Rebut Perbatasan Desa, Warga Lasoani dan Kawatuna Bentrok

bentrokPalu,beritapalu.com-ratusan warga Kelurahan Lasoani, Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis siang terlibat bentrok dengan ratusan warga kawatuna. Perang batu terjadi antar kedua warga desa bertetangga ini. Meski tak mengakibatkan korban jiwa, hingga kamis sore suasana di perbtasan masih tegang.

Bentrok antar kampung ini bermula dari rebutan wilayah antara warga Kelurahan Lasoani dengan Kelurahan Kawatuna. Warga Lasoani mematok batas wilayah hingga di sebuah sungai kering, namun warga Kawatuna menolak klaim ini. Mereka mencabut dan merusak patokan yang dibuat warga Lasoani.

Akibatnya ratusan warga Lasoani marah. Dengan bersenjatakan parang tajam, tombak dan batu mereka menyerang warga Lasoani. Namun warga Kawatuna yang berada di atas lembah balik menyerang. Saling lempar batu pun terjadi.

Warga Kawatuna menyerang dari puncak lembah, sementara warga Lasoani melempar dari arah bawah lembah. Perang batu baru berakhir setelah polisi tiba di TKP.

Aparat yang tiba di TKP tak lama kemudian meminta warga Lasoani untuk kembali ke rumah mereka. Aparat berjanji akan menyelesaikan rebutan batas wilayah ini dengan pemerintah Kota Palu. Hingga kamis sore, suasana di TKP masih tegang.