Rabu, 07 Mei 2008

Ketika Pulau Batu Puteh Diperebutkan

Selasa, 25 Desember 2007 02:08:50
Artikel Iptek

Sengketa perebutan pulau nampaknya menjadi kasus yang populer belakangan ini. Tahun ini Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) juga memutuskan kasus sengketa pulau yaitu antara Nicaragua dan Honduras dan kasus antara Nicaragua dan Colombia. Bulan lalu, giliran Malaysia berhadapan dengan Singapura untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan Pulau Batu Puteh (atau Pedra Branca), Middle Rocks, dan South Ledge. Ketiga pulau/karang ini sudah menjadi sengketa selama kurang lebih 28 tahun. Kedua negara sepakat membawa kasus ini ke ICJ setelah negosiasi bilateral menemui jalan buntu.

Bagi masyarakat Indonesia, sengketa pulau ini tentu saja mengingatkan sebuah cerita tidak menyenangkan lima tahun lalu. Indonesia tidak berhasil meyakinkan ICJ akan kepemilikannya atas Sipadan dan Ligitan sehingga kedua pulau itu akhirnya menjadi milik Malaysia. Meskipun ini bisa dicatat sebagai rapor merah diplomasi Indonesia, harus dipahami bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.

Seperti terlihat pada Gambar 1, Pulau Batu Puteh terletak di sebelah timur Singapura sejauh lebih kurang 45 km. Pulau ini berada pada koordinat 1コ 19' 48" LU dan 104 コ 24' 28" BT sejauh 14 km di sebelah selatan Malaysia dan sekitar 13 km di sebelah utara Pulau Bintan (Indonesia). Sengketa atas pulau ini merupakan salah satu alasan belum disepakatinya batas maritim antara Indonesia, Malaysia dan Singapura di perairan sekitar pulau tersebut (lihat Gambar 1).


Gambar 1 Posisi Pulau Batu Puteh dan Garis batas antara Indonesia, Malaysia dan Singapura

Sementara itu, Singapura telah mengoperasikan mercusuar Horsburgh di pulau tersebut sejak 1851 ketika Inggris masih berkuasa di kawasan itu. Meski demikian, keberadaan mercusuar itu nampaknya tidak secara otomatis membuat kedaulatan atas pulau tersebut ada pada Singapura. Dibawanya kasus ini ke ICJ mengindikasikan hal ini.

Selama proses dengar pendapat (hearing) di ICJ, Malaysia dan Singapura sama-sama mengemukakan argumen untuk meyakinkan mahkamah. Keduanya menegaskan kepemilikannya atas ketiga pulau/karang tersebut berdasarkan rantai kepemilikan (chain of title) yang didukung cerita turun temurun dan juga penguasaan efektif (effective occupation).

Dalam pandangan Singapura, adanya mercusuar yang dikelola Singapura merupakan indikasi adanya penguasaan efektif atas pulau tersebut yang secara teoritis menguatkan klaim Singapura. Meski demikian, Malaysia sendiri menyangkal hal ini karena pendirian mercusuar di pulau tersebut adalah atas ijin dari Malaysia (Johor) sebagai pemilik pulau tersebut. Menurut Malaysia, keberadaan mercusuar sama sekali tidak terkait kedaulatan melainkan murni untuk kepentingan navigasi. Dengan kata lain, kepemilikan pulau tersebut sudah jelas sebelum didirikannya mercusuar. Pembaca dapat menyimak argumentasi masing-masing negara yang didokumentasikan secara rapi di website ICJ, www.icj-cij.org.

Sementara itu, Indonesia sesungguhnya tidak terkait langsung dengan sengketa kepemilikan pulau ini. Meski demikian, keputusan atas kasus ini akan bepengaruh bagi Indonesia sebagai tetangga terdekat. Hal ini terutama karena Indonesia sendiri belum menuntaskan penetapan dan penegasan batas maritim dengan kedua negara tersebut di sekitar kawasan sengketa. Keputusan ini akan mempengaruhi masa depan perundingan batas maritim antara ketiga negara.

Indonesia sudah menyepakati batas landas kontinen (dasar laut) dengan Malaysia tahun 1969 dan batas laut territorial tahun 1973 dengan Singapura. Batas maritim ini masih belum tuntas untuk kawasan sekitar Pulau Batu Puteh yang memerlukan negosiasi lanjutan. Titik awal garis batas dengan Malaysia (P11 pada Gambar 1) berada pada koordinat 01コ 23'.9 LU dan 104コ 29'.5 BT, lebih kurang 12 km di timur laut Pulau Batu Puteh. Garis batas ini mengarah ke utara menuju Laut China Selatan. Sedangkan ujung timur garis batas maritim antara Indonesia dan Singapura (P6 pada Gambar 1) berada di koordinat 01コ 16' 10",2 LU dan 104コ 02' 00",0 BT, sekitar 42 km di sebelah barat daya Pulau Batu Puteh.

Nampak bahwa kedua garis batas maritim tersebut di atas masih belum tuntas karena ketidakjelasan kepemilikan (kedaulatan) atas Pulau Batu Puteh, Middle Rock dan South Ledge. Oleh karena itu, keputusan perihal kepemilikan ketiga pulau/karang tersebut akan sangat menentukan. Kejelasan kepemilikian pulau tersebut akan berpengaruh pada negosiasi batas maritim di masa depan. Strategi yang dipakai Indonesia untuk menghadapi Malaysia tentu akan berbeda dengan strategi untuk menghadapi Singapura.

Siapapun yang akan berhak atas pulau/karang tersebut, perlu diingat bahwa pulau/karang tersebut, menurut Konvensi PBB tentang Humul Laut (UNCLOS 1982), berhak mengklaim yurisdiksi maritim termasuk landas kontinen hingga 350 mil laut (setara 648 km) atau lebih. Hal ini tentu saja merupakan salah satu pertimbangan dalam negosiasi batas maritim di masa depan.

Negara manapun yang akan memiliki pulau itu, ketiga negara bertetangga ini perlu suatu ketika duduk bersama untuk menentukan titik temu tiga (tri-junction point) yang merupakan pertemuan antara garis batas antara ketiga negara. Di saat inilah trilateral negotiation akan memegang perangan yang sangat menentukan.

Secara umum, kemajuan yang dicapai dalam penyelesaian kasus kepemilikan Pulau Batu Puteh, Middle Rock, dan South Ledge antara Malaysia dan Singapura juga merupakan faktor penting untuk mempercepat penyelesaian sengketa batas maritim antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bagi Indonesia, penyelesaian kasus ini menjadi pemicu positif penyelesaian delimitasi batas maritim dengan sepuluh negara tetangga. Dengan tuntasnya elimitasi batas maritim, hak dan kewajiban terkait pengelolaan laut tentunya menjadi lebih jelas sehingga konflik maritim internasional bisa dikurangi.

Kini dunia sedang menunggu penyelesaian kasus ini oleh ICJ. Akankah Malaysia mengulang suksesnya seperti Sipadan dan Ligitan lima tahun lalu? Mari kita lihat sambil bersiap-siap untuk merundingkan batas maritim dengan Malaysia maupun Singapura.

Penulis adalah staff pada Universitas Gadjah Mada. e-mail: madeandi at gadjahmada.edu


dikutip dari http://www.beritaiptek.com

Hak cipta ada di penulis atau di http://www.beritaiptek.com



Tidak ada komentar: