Sabtu, 10 Mei 2008

Pengelolaan Batas Wilayah untuk Kedaulatan

sumber : http://tantrajournalist.blogspot.com/2008/03/pengelolaan-batas-wilayah-untuk.html


Rabu, 2008 Maret 26

Pengelolaan Batas Wilayah untuk Kedaulatan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Kedaulatan dan hak berdaulat adalah konsep penting terkait dengan kewilayahan. Indonesia memiliki perbatasan kedaulatan baik darat, laut dan udara maupun hak berdaulat seperti Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontingen dengan negara lain.
Adanya kedaulatan dan hak berdaulat atas wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan berbatasan dengan negara lain. Maka perlu adanya langkah penanganan wilayah perbatasan seperti penetapan wilayah negara, penyelesaian sengketa wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan dan penegakan wilayah hukum di perbatasan.


“Meskipun Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi Juanda, meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982, namun Indonesia masih belum menyepakati batas wilayah negara baik laut maupun darat dengan sejumlah negara tetangga. Karena itu Indonesia harus segera melakukan kesepakatan dengan negara tetangga untuk penetapan batas wilayah,” kata Guru Besar Hukum Internasional, FHUI, Hikmahanto Juwana, Jumat (14/3) dalam acara seminar nasional Regulasi Sektor Perdagangan Menyongsong Perdagangan Bebas Asean di Rektorat lantai III Untan.

Ia mengatakan saat ini Indonesia masih menegosiasikan penetapan batas wilayah dengan sejumlah negara. Ada yang telah diselesaikan dan diratifikasi oleh DPR seperti landasan kontinen dengan Vietnam dan sebagian batas laut teritorial Singapura. Pemerintah juga perlu mengidentifikasikan pulau-pulau terluar Indonesia, membuat pemetaan yang lebih akurat atas wilayah yang telah disepakati maupun yang masih dalam status klaim sepihak oleh Indonesia.
Untuk penyelesaian sengketa wilayah negara pemerintah perlu memperhatikan opsi-opsi yang dimiliki dalam penyelesaian sengketa wilayah seperti langkah diplomasi, meminta Mahkamah Internasional untuk menyelesaikannya sepanjang ada kesepakatan antarnegara yang bersengketa dan melakukan langkah mengembangkan status quo.

“Penggunaan kekerasan atau kekuatan militer bukanlah suatu opsi. Penggunaan kekerasan hanya bisa dilakukan bila ada pelanggaran status quo oleh negara lain,” ujarnya.
Yang terpenting, lanjutnya pemerintah perlu memastikan agar tidak ada pelanggaran status quo atas overlapping area. Pemerintah juga harus mengendalikan sensitifitas publik Indonesia terkait dengan masalah penyelesaian sengketa wilayah sehingga tidak memperburuk situasi.
Upaya pengelolaan wilayah perbatasan, perlu diintensifkan perdagangan perbatasan antarnegara tanpa mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dampak sosial masyarakat, terutama bila Indonesia berhadapan dengan negara yang lebih makmur juga perlu diperhatikan karena dikwatirkan ada eksodus orang dari wilayah yang kurang makmur dibandingkan dengan Indonesia.

“Terpenting penegakan hukum di wilayah perbatasan harus segera dilakukan,” ungkapnya.
Selama ini penegakan hukum kadang tidak berjalan karena adanya kepentingan oknum-oknum aparat hukum, insentif untuk melakukan pelanggaran hukum di perbatasan seperti penyelundupan baik orang maupun barang, kurangnya koordinasi, bahkan cenderung terjadi pertentangan antarinstansi.

Berbagai masalah yang terjadi merupakan tantangan ke depan dalam penanganan wilayah perbatasan, pemerintah perlu mensosialisasikan kepada publik adanya berbagai tantangan.
“Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mengamankan keutuhan NKRI dan memaksimalkan kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Upaya melakukan pengelolan wilayah perbatasan, Dekan Fakultas Hukum Untan, Garuda Wiko usai acara seminar mengatakan Kalbar sebagai provinsi yang memiliki perbatasan darat langsung dengan Malaysia, sejatinya memiliki karakter dan historisitas yang khas dalam menjalankan perdagangan antar negara. Border trade yang terjadi antara penduduk di wilayah perbatasan melalui PLB Entikong telah berlangsung sejak lama. Memang dari segi kualitas, hubungan perdagangan yang terjadi hanya dalam skala kecil. Tapi dari segi kualitas, praktek perdagangan telah membentuk penduduk di daerah perbatasan memiliki mentalitas sebagai warga yang biasa bersentuhan dengan dunia luar.

“Jadi sebenarnya penduduk wilayah perbatasan khususnya Kalbar memiliki bekal yang cukup untuk memasuki rezim perdagangan bebas,” katanya.
Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah daerah melakukan inisiatif dan kebijakan yang dapat mengakselerasi pengembangan daerah perbatasan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Garuda berpendapat langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah upaya pengembangan wilayah perbatasan dalam kerangka otonomi daerah. Langkah lain menyiapkan infrastruktur dan kelembagaan yang relevan dalam mengikuti perkembangan lingkungan strategis global. Pembangunan infrastruktur yang memadai serta keberadaan lembaga khusus yang memfokuskan diri pada pengembangan wilayah perbatasan diharapkan dapat menterjemahkan kekhasan daerah perbatasan sebagai garis pertahanan, batas wilayah sekaligus sebagai area perdagangan.

Selesaikan Sengketa Wilayah Negara

sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Legislatif&rbrk=&id=34277&postdate=2008-02-05&detail=



Legislatif
Hikmahanto: Selesaikan Sengketa Wilayah Negara

by : Friederich Batari
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah diminta untuk mengakomodasi empat hal pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Negara. Keempat hal itu adalah penetapan wilayah negara, penyelesaian sengketa wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan dan penegakkan hukum di wilayah perbatasan.

Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana saat Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD di Jakarta, Senin (4/2).

Menurut Hikmahanto, meskipun Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi Juanda dan meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur tentang Archipelagic State dan Indonesia merupakan peserta negara Konvensi Chicago 1944, namun Indonesia belum secara keseluruhan menyepakati batas wilayah negara baik laut maupun darat dengan sejumlah negara tetangga.

Untuk itu, ke depan dalam menetapkan batas negara perlu dilakukan kesepakatan antar negara yang bertetangga. Juga memperhatikan putusan Mahkamah Internasional apabila terjadi sengketa.

Dia berpendapat, penetapan batas wilayah tidak boleh terburu-buru. Karena ada kalanya negara yang berbatasan sengaja mengambangkan (status quo) akibat belum diperoleh kesepakatan. Namun dalam kondisi status quo bisa dilakukan joint management, seperti pada palung Timor, saat Timor-Timur masih menjadi bagian dari Indonesia dengan Australia.

Anggota PAH I DPD dari Provinsi Sumatera Barat Mochtar Naim mengusulkan agar pembahasan materi RUU Wilayah Negara dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Sehingga bisa mengatasi gap informasi antara masyarakat dan elite politik. n

Rabu, 07 Mei 2008

Pemetaan Batas Desa di Kabupatren Aceh Besar

sumber : http://mdarmawan-kenkyu.blogspot.com/2008/04/pemetaan-batas-desa-di-kabupatren-aceh.htm

Latar Belakang

Blang Bintang merupakan kecamatan pemekaran dari kecamatan Ingin Jaya, Montasik, dan Kuta Baro. Pemekaran kecamatan Blang Bintang dituangkan dalan Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor : 3 Tahun 2006. Di dalam Qanun ini disebutkan bahwa Blang Bintang berasal dari sebagian wilayah kecamatan Montasik, Kecamatan Kuta Baro, Kecamatan Ingin Jaya yang terdiri dari 26 desa. Pada pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa Batas wilayah Kecamatan Blang Bintang secara pasti di Lapangan ditetapkan oleh Bupati. Berdasarkan pasal tersebut maka GIS Center Kabupaten Aceh Besar bermaksud untuk melakukan identifikasi batas wilayah kecamatan Blang Bintang.

Langkah awal yang dilakukan untuk pengidentifikasian batas administrasi tersebut adalah pengumpulan data digital yang tersedia. Salah satu sumber data batas administrasi desa adalah BPS (Badan Pusat Statistik).

Data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) ada beberapa desa di kecamatan Blang Bintang yang masuk ke wilayah kecamatan lain, jadi tidak bisa dipakai sebagai acuan dalam pembuatan baseline data di GIS Center.


Pelaksanaan Kegiatan

Identifikasi batas kecamatan Blang Bintang dimulai dengan membuat data vector pointGIS Center) serahkan ke pihak kecamatan untuk memverifikasi batas wilayah dengan tokoh masyarakat, imum mukim, kepala desa di kecamatan Blang Bintang. Hasil verifikasi di atas kertas ini diberikan kembali kepada GIS Center dan GIS Center membuat kembali dalam format digital. Pekerjaan ini berlangsung dari bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007. Pada tanggal 3 Oktober 2007 kecamatan Blang Bintang membuat rapat Legalisasi Batas Desa. Hasil rapat tersebut dibuat dalam Berita Acara yang isinya menyebutkan bahwa mereka ingin memverifikasi batas tersebut dengan membuat patok sementara di lapangan dan patok tersebut berupa kayu ukuran 3x4 cm dengan panjang 30 cm. Penyediaan patok oleh pihak desa. Mereka meminta tim GIS Center kabupaten Aceh Besar untuk ikut serta mengambil titik GPS sesuai dengan patok yang mereka pasang. desa-desa di kecamatan Blang Bintang berdasarkan peta Topografi dari Bakosurtanal dan dipadukan dengan foto Citra Satelit. Pembuatan batas desa disesuaikan dengan peta sketsa blok sensus dari BPS. Kemudian hasil pengerjaan secara digital ini kami (

Pada tanggal 5 November 2007 tim GIS Center dengan tokoh masyarakat desa Cot Madi melakukan pengambilan titik GPS di batas desa antara Cot Madi dan kecamatan Kuta Baro, tetapi mereka tidak memasang patok yang disepakati. Kemudian tim GIS Center berkoordinasi lagi dengan pihak kecamatan dan mereka menyepakati untuk membuat patok sesuai dengan kesepakatan. Tim GIS Center mengambil 9 titik GPS di lapangan.

Tanggal 6 November 2007 kembali ke lapangan dan mengambil titik GPS di batas desa antara desa Cot Madi dan Kampung Blang dan mengambil 10 titik GPS.

Tanggal 15 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Geundret – Meulayo – Lamme – Kecamatan Kuta Baro – Kecamatan Ingin Jaya.

Tanggal 19 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Lamsiem – Meulayo – Cot Puklat – Kec. Ingin Jaya – Kec. Montasik.

Tanggal 20 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Puklat – Cot Geundret Kec. Montasik – Kec. Ingin Jaya.

Tanggal 21 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Meulangen – Cot Rumpun – Cot Mon Raya – Cot Jambo – Cot Hoho – Cot Karieng – Cot Nambak – Kec. Ingin Jaya.

Tanggal 22 November 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Cot Rumpun – Cot Mon Raya – Cot Jambo – Cot Hoho – Cot Karieng – Cot Nambak.

Tanggal 6 Desember 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Bung Pageu – Cot Malem – Cot Karieng – Cot Sayuen – Cot Hoho – Cot Jambo.

Tanggal 10 Desember 2007 mengambil titik GPS di garis perbatasan desa Bung Pageu – Teupin Batee – Cot Sayun – Cot Malem Cot Leuot – Cot Bagi.

Kendala di Lapangan

Rencana kegiatan survey lapangan dari tanggal 5 November 2007 sampai dengan tanggal 16 November 2007. Namun rencana tersebut tidak dapat dijalankan sesuai dengan jadwal karena terkendala adanya perselisihan tokoh masyarakat antar desa mengenai penetapan patok batas desa. Masalah ini sudah diserahkan ke pihak kecamatan untuk mengantisipasinya dan GIS Center kemudian dihubungi kembali dan melakukan survey dan pengambilan titik GPS dari tanggal 15 November 2007 sampai dengan tanggal 10 Desember 2007. Dan sampai batas waktu 14 Desember ada 10 desa yang tidak disurvey kembali karena terkendala dengan permasalahan penetapan patok batas antar desa.

Alat Bantu

Alat yang dipakai untuk survey adalah GPS Navigasi Garmin eTrex Vista HCx dan Mobile GIS PDA Trimble Recon. Untuk patok digunakan kayu balok ukuran 3x4 cm sepanjang 30 – 50 cm.

Tim GIS Center

  1. Tim yang ke lapangan terdiri dari :
  2. Tim GIS Center Kabupaten Aceh Besar (Ir. Zakaria ; Ir. Bayu Sumarno ; Nirwansyah, ST ; Mursidah , ST ; Rusmini, STP ; Anita Fitriyani ; Jamaluddin ; Winro Junaidi dan Isfandiari)
  3. Tim DED (Jochen Kranik dan Cut Susanti)
  4. Tim Bakosurtanal (Teguh Mulyadi dan Mustopa)
  5. Tim GTZ-SLGSR (Makmur Widodo dan Wanhar)

Rekomendasi Profil Kecamatan Blang Bintang

  1. Luas Kecamatan : 41, 75 km2
  2. Koordinat : 95° 23’ 4” – 95° 29’ 46” BT

5° 29’ 1,7” - 5°34’18,6” LU

  1. Batas Wilayah : Barat : Kec. Ingin Jaya

Timur : Kec. Mesjid Raya

Utara : Kec. Kuta Baro

Selatan : Kec. Montasik


Kota Jantho, 18 Desember 2007

Mengetahui :

1. Kepala Bappeda Kabupaten Aceh Besar Ir. Zulkifli R., M. Si NIP. 390 009 529

2. Team Leader Ir. Zakaria NIP. 080 127 974


Perbatasan Desa Ribut

Rebut Perbatasan Desa, Warga Lasoani dan Kawatuna Bentrok PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh abdee
Kamis, 18 Oktober 2007

sumber : http://www.beritapalu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid=60


Rebut Perbatasan Desa, Warga Lasoani dan Kawatuna Bentrok

bentrokPalu,beritapalu.com-ratusan warga Kelurahan Lasoani, Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis siang terlibat bentrok dengan ratusan warga kawatuna. Perang batu terjadi antar kedua warga desa bertetangga ini. Meski tak mengakibatkan korban jiwa, hingga kamis sore suasana di perbtasan masih tegang.

Bentrok antar kampung ini bermula dari rebutan wilayah antara warga Kelurahan Lasoani dengan Kelurahan Kawatuna. Warga Lasoani mematok batas wilayah hingga di sebuah sungai kering, namun warga Kawatuna menolak klaim ini. Mereka mencabut dan merusak patokan yang dibuat warga Lasoani.

Akibatnya ratusan warga Lasoani marah. Dengan bersenjatakan parang tajam, tombak dan batu mereka menyerang warga Lasoani. Namun warga Kawatuna yang berada di atas lembah balik menyerang. Saling lempar batu pun terjadi.

Warga Kawatuna menyerang dari puncak lembah, sementara warga Lasoani melempar dari arah bawah lembah. Perang batu baru berakhir setelah polisi tiba di TKP.

Aparat yang tiba di TKP tak lama kemudian meminta warga Lasoani untuk kembali ke rumah mereka. Aparat berjanji akan menyelesaikan rebutan batas wilayah ini dengan pemerintah Kota Palu. Hingga kamis sore, suasana di TKP masih tegang.

Konflik Perbatasan



Konflik Perbatasan Perlu Diwaspadai

Rabu, 23 April 2008

sumber : http://www.posmetropadang.com/content/view/1144/382/

GOLDEN ARM, METRO-- Kapolda Sumbar Brigjen Drs Ino Suripno SH bersama pejabat tinggi Polda Sumbar dengan jajaran Mapolres Solok Selatan (Solsel) serta Purnawirawan Polri, tokoh masyarakat menggelar temua ramah di Aula Mapolres Solsel Rabu (23/4). Dalam kesempatan tersebut, Kapolda mengatakan, menjalin silahturami antara jajaran polri dengan masyarakat sangat perlu, karena polri merupakan pengayom, pelindung dari masyarakat dalam menjaga ketentraman antara satu dengan lainnya.
Aapalagi, Solsel sebagai daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang potensial. Tentu saja melalui potensi SDA ini bisa memajukan daerahnya. Dari itu mari perhatikan lingkungan yang strategi untuk selalu menjaganya. berkaitan dengan itu semua bahwa pembangunan berjalan dengan baik tentunya situasi dan kondisi harus aman dan terjaga (kantibmas). Mari tunjukan peran kita semua seperti Muspida Plus dan masyarakat, ambil langkah yang preventif dan sosialisasikan pendasaran yang menyangkut itu semua. untuk itu fungsikan peran masing-masing, seperti masalah perdata kembalikan ke pengadilan dan masalah adat kembalikan ke ninik mamaknya. Dengan memfungsikan peran masing-masing tentunya semua permasalahan yang timbul bisa terselesaikan dengan baik dan tidak ada yang dirugikan dari pihak manapun.

Sementara Kapolres Solsel AKBP Jondrial S.Ik dalam laporannya menjelaskan dengan adanya pertemuan tatap muka ini bisa lebih menciptakan rasa kekeluargaan di jajaran Mapolres, dan masyarakat pada umumnya. dan dengan demikian semakin terjalinannya silahturahim antar sesama. Saat ini pada wilayah Polres Solsel dalam situasi yang kondusif, untuk itu mari sama-sama menjaganya. Sementara Bupati Solsel Drs H Syafrizal J M.Si dalam sambutan singkatnya menguraikan tentang Solsel. Dimana Solsel dengan luas wilayah 3.346,20 KM persegi. dan secara umum kondisi keamanan di Solsel cukup kondusif.

Namun demikian, sebagai daerah yang memiliki potensi di sektor perkebunan dan pertambangan maka kedua sektor itu sebenarnya juga perlu diwaspadai rawan konflik. termasuk karena letak geografis daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, maka konflik perbatasan juga termasuk hal yang perlu diwaspadai. Degan kunjungan Kapolda diharapkan sebagai sebuah momen untuk mendorong peningkatan kerjasama antara aparatur pemerintahan sehingga situasi tertib dan kondusif dapat terus dijaga serta dipertahankan. Selain Kapolda Brigjen Drs Ino Sumarno SH dan Jajarannya, juga hadir Bupati Solsel Drs H Syafrizal J M.Si, Kapolres AKBP Jondrial S.Ik, Ketua DPRD H Khairunas, Kandepag Kardinal N, Tokoh Masyarakat Solsel. (f)


Konflik Perbatasan Antardaerah

18/09/07 14:30,

sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/9/18/pusat-turun-tangan-atasi-konflik-perbatasan-antardaerah


Pusat Turun Tangan Atasi Konflik Perbatasan Antardaerah



Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Pusat bersama pihak terkait harus turun tangan mengatasi konflik perbatasan antardaerah karena daerah yang berkonflik tidak mampu mengatasinya.

Hal itu disampaikan Mendagri Mardiyanto dalam Raker dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Ruang GBHN Nusantara V DPD/MPR Jakarta, Selasa. Raker membahas revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

Mengenai masalah perbatasan Kabupaten Ngada -Manggarai di Pulau Flores, Mendagri menjelaskan, dengan ditetapkannya Kabupaten Manggarai Timur sebagai salah kabupaten dalam Sidang Paripurna DPR RI 17 Juli 2007, suhu politik di kedua kabupaten semakin memanas karena jalan negara trans-Flores yang melewati Kabupaten Ngada ditutup oleh masyarakat Ngada.

Hal itu akibat pemerintah Propinsi NTT tidak mampu menyelesaikan masalah tapal batas yang dituntut oleh masyarakat dan Pemda Ngada selama ini.

Pemerintah telah melakukan upaya penyelesaian dengan mempertemukan pejabat di kedua kabupaten pada 30 Juni 2007 yang menyepakati penegasan batas wilayah antara Kabupaten Manggarai Timur dengan Kabupaten Ngada akan dielesaikan oleh pemerintah Propinsi NTT. Selanjutnya akan ditetapkan dengan keputusan Mendagri paling lambat tiga bulan.

Untuk mengatasi masalah sengketa perbatasan yang terjadi di daerah yang gubernurnya tidak mampu menyelesaikan, supaya segera diambil alih oleh Mendagri. Hal seperti itu terjadi dalam sengketa perbatasan antara Kabupaten Tanah Bumbu dengan Kabupaten Banjar di Kalimantan Selatan.

Sesuai dengan Peraturan Mendagri No.1/2006 tentang Pedoman Penetapan Batas Daerah dan ketentuan dalam setiap UU pembentukan suatu daerah otonom bahwa penetapan batas pasti suatu daerah ditetapkan oleh Mendagri, maka dengan demikian Mendagri dapat mengambil kebijakan untuk menyelesaikan sengketa perbatasan antardaerah.

Anggota DPD menanyakan mengenai penolakan penetapan perbatasan oleh sejumlah masyarakat terkait UU No.54/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sorolangun, Kabupaten Tebo, Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Propinsi Jambi). Selain itu, ada pihak yang menolak penetapan perbatasan Kota Bukit Tinggu dan Kabupaten Agam (Sumatera Barat).

Mendagri menjelaskan, sebagai upaya menyelesaikan sengketa perbatasan tersebut, pemerintah dan Komisi II DPR RI telah membentuk tim kecil mengkaji dan memfasilitasi penyelesaian sengketa perbatasan, antara lain telah menghasilkan rumusan kebijakan proses penyelesaian sengketa perbatasan daerah tersebut.

Anggota DPD juga mempertanyakan mengenai penyelesaian masalah ibukota Kabupaten Rokan Hilir. Pemda Rokan Hilir bersama DPRD Rokan Hilir serta tokoh masyarakat telah menyampaikan usul kepada Mendagri yang tembusannya disampaikan kepada anggota DPD agar ditetapkan letak ibukota Kabupaten Rokan Hilir di Bagan Siapi-api.

Mendagri menjelaskan, kedudukan ibukota Kabupaten Rokan Hilir sesuai dengan Pasal 16 Ayat 93) UU No 53/1999, ibukota Kabupaten Rokan Hilir berkedudukan di Ujung Tanjung. Untuk semetara menunggu kesiapan prasarana dan sarana, kedudukan ibukota berada di Bagan Siapi-api.(*)

COPYRIGHT © 2007

Perluasan Wilayah Australia

Perluasan Wilayah Australia
Rabu, 30 April 2008 | 01:48 WIB

I Made Andi Arsana

Pada hari Senin (21/4/08) berbagai media massa Australia memberitakan perluasan wilayah Australia yang menjadi pembicaraan hangat di berbagai kalangan di negeri Kangguru ini. Wajar jika berita ini menarik perhatian karena media massa juga menulis headline yang cukup provokatif. The Australian, misalnya, menulis ”Australia expands into new territory”. Jika tidak disertai pemahaman yang baik, judul berita ini bisa saja disalahartikan. Benarkan Australia memperbesar wilayahnya? Bagaimana dengan Indonesia?

Yang dimaksud dengan territory oleh The Australian sesungguhnya bukanlah wilayah darat yang padanya berlaku kedaulatan penuh. Penggunaan territory di sini sesungguhnya kurang tepat karena yang diperluas adalah wilayah maritim, khususnya landas kontinen (dasar laut). Australia tidak memperluas wilayah kedaulatan (sovereignty), tetapi kawasan hak berdaulat (sovereign rights). Dalam hukum internasional, kedua istilah ini memiliki pengertian yang signifikan berbeda. Pada sovereignty berlaku kedaulatan penuh, sedangkan pada sovereign rights tidak. Padanya hanya berlaku ketentuan bahwa sebuah negara berhak memanfaatkan sumber daya alam dengan tanggung jawab tertentu.

Mengenal perluasan landas kontinen

Perluasan landas kontinen ini memang dimungkinkan dan diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Conventions on the Law of the Sea, UNCLOS) Pasal 76. Dalam Konvensi ini dikatakan bahwa landas kontinen sebuah negara pantai (coastal state) dapat mencapai batas terluar tepian kontinennya atau sampai pada jarak 200 mil laut (M) dari garis pangkal (garis pantai) jika batas terluar tepian kontinennya tidak mencapai jarak 200 M. Selanjutnya dikatakan bahwa negara pantai juga bisa menambah landas kontinennya melebihi 200 M dari garis pangkal (Landas Kontinen Ekstensi, LKE). Jika menginginkan LKE, negara pantai tersebut harus mendelineasi batas terluar landas kontinen yang baru dan mengajukannya kepada Komisi PBB (Commission on the Limits of the Continental Shelf, CLCS). Hingga kini, sembilan pengajuan sudah masuk ke CLCS.

Untuk mengklaim LKE ini, sebuah negara harus melakukan pembuktian sesuai dengan ketentuan Pasal 76 UNCLOS. Ada dua kriteria yang memungkinkan, yaitu yang terkait dengan ketebalan batuan sedimen di dasar laut atau menggunakan kriteria jarak dari bagian dasar laut yang disebut kaki lereng. Prosedur ini sangat rumit dan memerlukan integrasi berbagai disiplin teknis, seperti geodesi, geofisika, hidrografi, dan geologi. Untuk membuktikan ini tentu saja harus dilakukan survei batimetri untuk mengetahui profil dasar laut dan survei seismik untuk mengetahui ketebalan sedimen.

Selain itu, ada juga konstrin dalam menentukan batas terluar LKE ini. Batas terluar LKE tidak boleh melebihi jarak 350 M dari garis pangkal atau tidak melebihi garis kedalaman 2.500 meter ditambah 100 M ke arah laut lepas.

Bisa dipahami, memang tidak mudah memahami prosedur klaim LKE, terlebih bagi mereka yang tidak menekuni disiplin yang disebutkan sebelumnya. Meski demikian, tentu bisa dimengerti bahwa penentuan LKE ini sangatlah rumit, memerlukan sumber daya dengan kualifikasi memadai, dan yang terpenting memerlukan biaya yang sangat tinggi.

Australia mengajukannya LKE kepada CLCS pada tahun 2004. Pengajuan ini tampaknya sudah mendapat rekomendasi/ persetujuan dari CLCS, seperti yang diungkapkan Resources Minister, Martin Ferguson, di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, perluasan ini mencapai 2,5 juta km² yang diklaim setara dengan lima kali wilayah Prancis. Perluasan ini tentunya memungkinkan Australia untuk menambah potensi eksploitasi migas dan sumber daya laut lainnya di masa depan.

Bagaimana Indonesia?

Seperti halnya Australia, Indonesia pun berhak atas LKE. Hingga tulisan ini dibuat, Indonesia belum mengajukan LKE kepada CLCS, sementara itu waktu yang dimiliki tinggal satu tahun hingga 13 Mei 2009. Meski demikian, pihak terkait sudah melakukan usaha optimal untuk melakukan delineasi. Menurut berita dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (bakosurtanal.go.id, 15/2/08), Indonesia sudah siap mengajukan LKE untuk kawasan sebelah barat Aceh dengan luas kurang lebih setara dengan Pulau Madura.

Rencana delineasi dan pengajuan LKE ini memang potensial menjadi perdebatan. Ada beberapa pihak yang mempertanyakan apakah biaya yang dihabiskan akan sebanding dengan manfaat yang diperoleh? Ada juga yang mungkin mengatakan bahwa ekstensi ini tidak perlu mengingat Indonesia masih harus berkonsentrasi dengan urusan lain yang lebih urgent. Meski demikian, saya pribadi berpendapat bahwa perluasan landas kontinen ini perlu dilakukan untuk investasi masa depan.

Mungkin Indonesia belum melihat potensi sumber daya alam di kawasan tersebut saat ini, kita tidak pernah tahu apa yang bisa dimanfaatkan dari kawasan tersebut di masa depan seiring kemajuan teknologi. Mengingat pengajuan ini dibatasi waktu, sinergi semua pihak terkait tentu sangat diperlukan. Semua pihak yang terlibat dalam proyek ini tentu sudah menyadari hal ini dan akan berbuat yang terbaik. Semoga.

I Made Andi Arsana Pengajar dan Peneliti Departemen Geodesi dan Geomatik, FT-UGM

sumber : www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/04/30/01483777/perluasan.wilayah.australia



Gosong Niger: Samakah dengan Ambalat?

Gosong Niger: Samakah dengan Ambalat? Cetak E-mail
Oleh I Made Andi Arsana
Senin, 06 Maret 2006
I Made Andi ArsanaNampaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan isu perbatasan antara Indonesia dan Malaysia tak kunjung usai. Ambalat, salah satu kasus terkini yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia, sepertinya bukanlah yang terakhir. Ketika proses perundingan sedang berlangsung, kini kasus lain mengemuka. Gosong Niger adalah salah satu isu hangat, seperti biasa, di Indonesia. Tidak jelas diketahui apakah masalah ini juga menjadi perhatian masyarakat Malaysia.

Isu ini mencuat ketika salah satu kapal survey Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat kedapatan berada sekitar 0,7 mil laut dari garis batas, di wilayah Malaysia. Tentara Laut Diraja Malaysia, mengklaim kapal survey Indonesia telah melakukan pelanggaran batas. Sementara itu, Gosong Niger berada di kawasan perbatasan laut antar Indonesia dan Malaysia di mana kasus ini bermula, sekitar 5,5 mil laut dari Tanjung Datu. Gosong Niger menempati kawasan seluas 50 kilometer persegi membentang dari barat ke timur (Tempo, Februari 2006). Istilah "gosong" nampaknya tidak terlalu umum dalam Bahasa sehari-hari di Indonesia yang berarti gundukan pasir alluvial tenggelam di perariran dangkal. Dalam Bahasa Inggris, terminalogi gosong ini bisa disebut sebagai sandbar.

Peta Gosong Niger
sumber : I Made Andi Arsana

Menurut pemberitaan media, salah satu isu lain yang kemudian terungkap adalah bahwa tentara laut Malaysia biasanya mengadakan patroli dan tidak mengijinkan nelayan Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di sekitar Gosong Niger. Beberapa sumber menyatakan bahwa para nelayan tradisional umumnya tidak tahu kalau Gosong Niger tersebut berada di dalam kedaulatan Indonesia karena mereka melihat kapal tentara laut Indonesia mankal di kawasan tersebut hampir setiap hari. Akibatnya, para nelayan Indonesia tidak memiliki akses pada sumberdaya alam di sekitar Gosong Niger.

Berkaitan dengan batas dasar laut antara Indonesia dan Malaysia tahun 1969, Gosong Niger adalah bagian dasar laut yang terbagi oleh garis batas laut di mana dua per tiga bagiannya berada di wilayah Indonesia. Dari sini bisa dilihat bahwa kedaulatan atas Gosong Niger sesungguhnya jelas.

Meski demikian, harus diingat bahwa tidak ada batas laut wilayah di kawasan tersebut (sebelah utara Tanjung Datu). Dengan kata lain, kedua negara telah menyepakati batas dasar laut tetapi belum menentukan batas tubuh air (water column). Ini berarti bahwa perihal kedaulatan dan hak berkuasa di kawasan tersebut belum jelas. Akibatnya, tidak bisa diputuskan begitu saja apakah Indonesia atau Malaysia telah melakukan pelanggran batas atau tidak. Meski demikian, secara de facto, keberadaan batas dasar laut juga dianggap sebagai batas laut wilayah (water column). Bisa jadi ini alasannya mengapa Indonesia atau Malaysia meduga bahwa segala aktivitas di perairan yang melewati garis batas tersebut dianggap pelanggaran.

Perlu ditegaskan, adalah tidak tepat sekaligus berbahaya jika batas dasar laut dianggap juga sebagai garis batas untuk zona laut lainnya (zone ekonomi eksklusif dan laut wilayah) karena akan menimbulkan permasalahan bagi kedua belah pihak dalam menegaskan klaimnya. Sesungguhnya, hal ini justru seharunya menjadi perhatian Indonesia karena garis batas dasar laut yang telah disepakati berada di sebelah barat garis sama jarak (equidistance line) dan menguntungkan Malaysia (lihat gambar 2). Sebuah analisis spasial menunjukkan bahwa Indonesia semestinya berhak atas "tambahan wilayah laut" sebesar 24,000 kilometer persegi, seandainya garis yang digunakan untuk menentukan batas laut wilayah adalah garis sama jarak, seperti yang diisyaratkan dalam pasal 15 UNCLOS.

Sebagai dua negara pantai yang berdampingan (adjacent) satu sama lain, Indonesia dan Malaysia memiliki klaim laut wilayah yang tumpang tindih (overlapping claim) di kawasan sekitar Gosong Niger. Tidak adanya batas laut wilyah (territorial sea boundary) antara Indonesia dan Malaysia, berakibat adanya ketidakpastian kedaulatan atas laut wilayah. Jika orang Malaysia atau Indonesia beraktivitas melewati garis batas tetapi tetap dalam kawasan tubuh air (water column) tanpa menyentuh dasar laut, maka mereka tidak bisa dikatakan melakukan pelanggaran. Penuntutan (tuduhan akan tindak pelanggaran) hanya bisa dilakukan kalau terjadi aktivitas lintas batas yang melibatkan dasar laut Gosong Niger.

Media juga memberitakan bahwa Malaysia telah mendirikan pelayanan jasa pariwisata di sekitar area Gosong Niger dengan menyediakan fasilitas untuk menyelam, berenang, dan kegiatan wisata air lainnya. Jika ini benar maka tindakan tesebut bisa menimbulkan sengketa mengingat perbatasan di kawasan tersebut belum ditetapkan. Jika aktivitas ini melibatkan dasar laut yang batasnya sudah jelas dan melewati garis batas yang ada maka ini jelas adalah pelanggaran batas.

Beberapa pandangan di Indonesia mengemukakan bawah kasus ini mirip dengan Sipadan dan Ligitan, di mana Malaysia pada akhirnya akan diberi kedaulatan atas Gosong Niger karena Malaysia telah menunjukkan penguasaan efektif terhadapnya melalui kegiatan perekonomian dan pariwisata. Sesungguhnya pandangan ini tidak sepenuhnya benar karena sudah terdapat garis batas yang permanen antara Indonesia dan Malaysia di kawasan Gosong Niger, tidak seperti di Laut Sulawesi di mana Pulau Sipadan dan Ligitan berada. Tidak adanya garis batas di Laut Sulawesi, serta tidak adanya klaim hukum resmi terhadap kedua pulau itu adalah alasan adanya sengketa. Dalam kasus tersebut, penguasaan efektif (Effectivit?s) adalah pertimbangan yang relevan untuk memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut. Sementara itu, kedaulatan atas Gosong Niger sudah jelas dengan adanya garis batas dasar laut yang disepakati tahun 1969. Pelanggaran (atau penguasaan efektif) yang dilakukan oleh Indonesia atau Malaysia setelah tahun 1969 tidak akan mempengaruhi kedaulatan atasnya.

Kasus ini juga berbeda dengan Ambalat. Sengketa ambalat yang berada di Laut Sulawesi terjadi karena tidak adanyan batas dasar laut permanent antara Indonsia dan Malaysia. Lain halnya dengan Gosong Niger, sehingga tidak diperlukan lagi penarikan garis batas dasar laut yang baru seperti yang dibutuhkan untuk kawasan Ambalat.

Nampaknya sengketa perbatasan laut internasional tengah menjadi salah satu masalah utama di Indonesia belakangan ini. Banyak kasus berkaitan dengan perbatasan internasional, kedaulatan (sovereignty) dan hak kuasa (sovereign rights), telah menyita perhatian hampir semua orang termasuk di dalamnya kasus Ambalat, kepemilikan pulau, Gosong Niger, kejahatan/pelanggaran perbatasan, perampokan kapal, dan lain-lain. Sudah banyak pendapat dan saran disampaikan kepada pemerintah dan lembaga terkait, namun kenyataannya penyelesaiannya masih belum memuaskan. Berbagai kasus tetap saja bermunculan. Bisa dimengerti bahwa Pemerintah Indonesia saat ini sedang berjuang keras menyelesaikan berbagai persoalan yang lebih strategis seperti korupsi dan bencana alam, namun bukan berarti masalah perbatasan internasional, kedaulatan, dan hak kuasa bisa dinomerduakan.

http://www.geografiana.com/kolom/kolom/gosong-niger-samakah-dengan-ambalat


Menyoal Sengketa Batas Wilayah

29 Oktober 2007
Menyoal Sengketa Batas Wilayah

Salah satu persoalan besar yang mendera sejumlah daerah adalah sengketa batas wilayah antar daerah. Apa sebab terjadinya sengketa itu? Dari pendapat yang berkembang di masyarakat, ada sejumlah hal yang menjadi sebab terjadinya sengketa wilayah tersebut. Batas antar daerah pada awalnya bukan masalah, sehingga tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah setempat. Namun sejak bergulirnya program otonomi daerah, maka daerah dituntut bisa menghidupi diri sendiri dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk kepentingan PAD tersebut, selain diperoleh dari retribusi dan pajak di daerah, eksplorasi sumber daya alam yang ada di daerah pun menjadi pilihan. Konon, dalam menggali SDA itulah, banyak terjadi persinggungan kepentingan, Dalam arti lain, kerap SDA itu ada diantara batas wilayah masing-masing daerah, baik Kabupaten/kota maupun antar Provinsi.
Sebab kedua, dalam kebijakan Otda yang tertuang dalam UU 22/1999 yangkemudian direvisi menjadi UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, membuka peluang bagi daerah untuk memekarkan diri, menjuadi daerah baru apakah kabupaten, kotamadya atau pun menjadi Provinsi baru. Dalam, proses pemekaran wilayah itu, banyak ‘PR’ seperti penentuan batras daerah baru dengan batas daerah lama (Daerah Induk)..
Dan institusi yang berkompeten terhadap batas antar daerah, dalam hal ini Depdagri (Departemen Dalam Negeri) mencatat ada 17 provinsi dan 52 kabupaten/kota yang belum menyelesaikan sengketa batas wilayahnya. Bahkan, dari 458 kabupaten/kota di negeri ini, kurang dari 10 persen yang mempunyai penegasan batas wilayah.
Sejumlah contoh terjadinya sengketa wilayah antar daerah, seperti yang terjadi Di Kalimantan, antara Barito Utara (Barut) dengan Barito Selatan (Barsel) juga tengah membahas sengketa perbatasan. Barsel menunjuk titik batasnya di Desa Rampamea. Sedangkan Barut di Sungai Batampang. Ikhwal sengketa batas wilayah ini terjadi sejak November 1994 saat Bupati Barut dijabat Drs HA Dj Nihin dan Bupati Barsel Drs. H. Asnawi Agani.
Sengketa itu berawal adanya kegiatan pencarian minyak yang lokasinya berada di antara wilayah Barut dan Barsel. Eksplorasi itu dilakukan kontraktor Pemintracer Petroleum Limited bekerja sama dengan Pertamina. Wilayah eksplorasi seluas 2 hektare terletak di sumur pengeboran Patas 1 ha, Ngurit, Desa Batu Raya 1 ha dan sumur pengeboran di Malungai 1 hektare.
Kemudian, sengketa wilayah sebagai ‘buntut’ program pemekaran wilayah, adalah yang terjadi Provinsi Jambi. Berdasarkan penelitian Pusat Studi Hukum Otonomi Daerah (PSHK-ODA) Jambi selama 2000 - 2002 di provinsi itu terdapat sedikitnya 16 sengketa batas wilayah dan konflik kewenangan antardaerah yang terjadi pasca pemekaran dan Otda.
Sengketa tersebut melibatkan pemerintah provinsi dengan kabupaten, kabupaten dengan kabupaten dan kota. Pastinya, sengketa tersebut meliputi sengketa tapal batas, bi- dang kehutanan, perkebunan, kelautan, dan perikanan, hingga tata ruang. Di antaranya sengketa batas Bungo dan Tebo di Kecamatan Rimbobujang, sengketa batas wilayah Tanjungjabung Barat dan Timur di Desa Pematang Lumut, sengketa tapal batas Kabupaten Merangin, Tebo, dan Bungo di Desa Batin V Kecamatan Tabir dan sengketa tapal batas Tanjungjabung Timur dengan Muarojambi di Desa Parit Culum, Kecamatan Dendang.
Lebih ironis lagi, sengketa wilayah (daerah) antara Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Sumenep, Singkatnya, pada awal 2007, ekploitasi Gas Blok Maleo yang berada di perairan selatan pulau Giligenting Kabupaten Sumenep berhasil dilakukan. Volume produksi Gas Blok Maleo itu bisa diekpoitasi hingga 10 tahun kedepan, dengan kapasitas produksi rata-rata 50 hingga 110 Juta Kaki kubik per hari.
Demikian besar volume gas Maleo, dengan tiba-tiba, sekitar Maret 2007, Provinsi Jawa Timur mengklaim blok Gas Maleo merupakan wilayah provinsi Jawa Timur. Tidak jelas, apakah klaim wilayah itu, murni inisiatif pemerintah Jawa Timur yang kemudian mengajukan kepada Depdagri untuk mengeluarkan Permendagri No. 8 Tahun 2007 tentang penetapan wilayah daerah penghasil Migas. Atau sebaliknya Pemerintah Pusat melalui Depdagri bekerja sama dengan Prov. Jawa Timur, berupaya mengklaim GasBlok Maleo.
Padahal, jelas penambangan gas Maleo itu lebih dekat ke Perairan Giligenting yang notabene masuk wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemda, maka setiap kabupaten memiliki wilayah laut sejauh 4 mil dari batas daratan terluar.
Terkait dengan persoalan batas daerah, diakui Sodjuangon Situmorang Dirjen PUM Depdagri, SDA, mengemuka, kepentingan sumber daya alam (SDA) sering Picu Sengketa Batas Wilayah. “Munculnya sengketa batas wilayah di sejumlah daerah antara lain, dipicu karena daerah memperebutkan sumber daya alam (SDA), penetapan hak pengelolaan hutan (HPH), kuasa pertambangan, dan sertifikasi tanah,” kata Sodjuangon Situmorang.
Dikatakan, saat ini setidaknya ada 17 Provinsi dan 52 Kabupaten/Kota terlibat sengketa batas daerah. “Provinsi yang bersengketa yakni: Kepri-Jambi, Kalbar-Kalteng, Kaltim-Kalteng, Sulbar-Sulteng, Gorontalo-Sulteng, Maluku Utara-Irjabar, Sumut-Riau, dan Babel-Kepri,” kata Sodjuangon Situmorang.
Untuk itu, pihaknya, meminta kepada gubernur untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah antarkabupaten/kota. Jika bisa, gubernur juga harus berada di pihak yang netral. Masukan gubernur menjadi penting untuk tim penegasan batas wilayah di pusat.
Dan menurut Direktur Administrasi Wilayah dan Perbatasan Depdagri Kartiko Purnomo, sengketa batas wilayah muncul karena ada beberapa segmen yang belum disetujui dua daerah. “Biasanya itu karena cakupan wilayah yang tumpang tindih atau terkait masa lalu,” kata Kartiko Purnomo.
Sementara menurut I Made Andi Arsana, dosen jurusan teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik UGM, persoalan batas memang multi-dimensi yang melibatkan aspek legal, teknis, dan sosial ekonomi. Sengketa batas wilayah bisa menimbulkan berbagai persoalan yang terkait setidaknya dengan ketiga aspek tersebut.
“Diberlakukannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan titik awal dilaksanakannya konsep otonomi daerah di Indonesia. Kini UU ini direvisi menjadi UU No. 32/2004 yang salah satunya mengatur penentuan dan penegasan batas wilayah baik di darat maupun di laut. Untuk mendukung ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2006 (selanjutnya disebut Permendagri) tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,” kata I Made Andi Arsana.

Beda Pemahaman
Dalam penjelasannya, I Made Andi Arsana, menjelaskan selama ini banyak daerah belum memahami, bentuk pengaturan yang ada dalam PP No. 1/2006 itu, sehingga banyak terjadi sengketa batas daerah. “Perlu diperhatikan bahwa istilah ”penentuan” dan ”penegasan” memiliki pengertian yang berbeda. Penentuan mengacu kepada penetapan batas di atas peta, sedangkan penegasan adalah penetapan titik-titik batas di lapangan,” kata I Made Andi Arsana, yang juga peneliti pada Pusat Kajian Kewilayahan dan Perbatasan FT UGM- Bakosurtanal.
Dengan kata lain, lanjutnya, penegasan adalah tindak lanjut dari penentuan batas. “Hal ini ditegaskan dalam Permendagri yang menyebutkan bahwa penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik aspek yuridis maupun fisik di lapangan (Pasal 2 ayat 1),” kata I Made Andi Arsana.
Dijelaskan, penegasan batas darat meliputi beberapa langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Dalam penegasan batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendagri pasal 4 ayat 2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa peran surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas daerah.
Terkait kewenangan daerah di wilayah laut, menurut I Made Andi Arsana, alasan perlunya batas laut adalah untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim (overlapping claim) daerah di wilayah laut. Seperti dijelaskan dalam UU No.32/2004, sebuah provinsi yang memiliki laut berhak atas kewenangan laut sejauh 12 mil laut dari garis dasar (biasanya garis pantai).
“Tentu bisa dipahami bahwa akan terjadi tumpang-tindih klaim jika ada dua provinsi berseberangan (opposite) yang berjarak kurang dari 24 mil laut atau dua provinsi yang berdampingan (adjecent) dalam satu wilayah daratan pulau seperti Jogja dan Jateng. Untuk menghindari sengketa, maka perlu ditarik garis batas yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan,” kata I Made Andi Arsana.
Permendagri, lanjutnya, juga menegaskan bawah ada 6 langkah utama yang harus dilakukan dalam penentuan batas wilayah laut yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar dan titik acuan, penentuan titik awal dan garis dasar, pengukuran dan penentuan batas, dan pebuatan peta batas. Berbeda dengan batas darat, pemasangan pilar tidak dilakukan di titik batas, yang notabene di tengah laut, tetapi di darat (pantai) yang dijadikan referensi dalam menentukan posisi titik batas maritim antar provinsi.
“Secara teknis, aspek yang sangat penting dalam penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan tekena dampak akibat adanya penegasan batas tersebut,” kata I Made Andi Arsana..
Dikatakan, untuk darat, misalnya, batas bisa ditentukan dengan unsur alam (sungai, watershed, dan danau), dan unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar batas). Penggunaan unsur-unsur alam akan mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah yang mengakibatkan bergesernya batas antara DIY dan Jateng. Namun demikian, penggunaan unsur alam ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar.
“Untuk batas dari unsur buatan seperti pilar batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi datum yang pasti sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama jika datumnya berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan. Sebaliknya, suatu posisi tertentu di lapangan bisa dinyatakan dengan koordinat yang berbeda jika datum dan sistem proyeksinya berbeda,” kata I Made Andi Arsana..
Bahkan lanujutnya, terkait dengan ketelitian posisi/koordinat titik batas, Permendagri juga sudah memberikan spesifikasi yang rinci. Ketelitian ini tentunya terkait dengan teknologi dan metode penentuan posisi yang digunakan. Penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS), yaitu penentuan posisi dengan satelit, adalah salah satu yang direkomendasikan.
“Namun demikian, penggunaan GPS sendiri harus memperhatikan jenis dan metode pengukurannya untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang disyaratkan. Pengukuran dengan GPS navigasi (handheld) seperti yang sekarang populer di masyarakat berupa peranti seukuran handphone tentu saja menghasilkan ketelitian posisi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan GPS jenis geodetik yang dilakukan secara relatif (deferensial). Tim Penegasan Batas di tingkat provinsi maupun pusat harus memahami hal ini,” kata I Made Andi Arsana.
Menurutnya, dalam era otonomi di mana luas daerah menjadi salah satu indikator dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), batas daerah menjadi sangat penting artinya. Tanpa batas yang tegas, luas tidak mungkin dihitung. Oleh karena itu, penentuan dan penegasan batas merupakan agenda penting dalam melaksanakan otonomi daerah.
“Terkait DAU, ada sebuah wacana bahwa luas wilayah yang berpengaruh terhadap besarnya DAU yang diterima suatu daerah seharusnya bukan saja luas daratan seperti yang berlaku sekarang, tetapi juga luas laut. Hal ini untuk menciptakan keadilan bagi daerah yang berbentuk kepulauan di mana luas daratannya lebih sempit dari luas wilayah laut yang menghubungkan pulau-pulau dalam provinsi tersebut. Meskipun masih wacana, hal ini telah menjadi kajian serius berbagai pihak, dan ini juga mengindikasikan bahwa penentuan (delimitasi) batas maritim antar daerah menjadi penting,” kata I Made Andi Arsana.
Menurutnya, lepas dari perhitungan DAU, penentuan batas maritim tetap harus mengacu kepada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan untuk memecah belah daerah. Bisa dikatakan bahwa penentuan batas maritim ini adalah dalam rangka menghitung luas saja, bukan dalam rangka memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk menguasai laut.


Mengacu Pada Hukum
Seperti ditegaskan Sodjuangon Situmorang, penegasan batas wilayah antardaerah adalah kewenangan pemerintah pusat sehingga harus diatur dengan PP dan Permendagri. "Karena, ini adalah masalah teritorial negara. Selain itu, gubernur seyogyanya memfasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah antarkabupaten/kota. Jika bisa, gubernur juga harus berada di pihak yang netral. Masukan gubernur menjadi penting untuk tim penegasan batas wilayah di pusat,” kata Sodjuangon Situmorang.
Sebagai contoh, sengketa batas daerah sebagai buntut dari proses pemekaran wilayah, seyogyanya tidak berlarut-larut, seperti batas wilayah Provinsi Jambi. Untuk menyelesaikannya, disarankan agar mengacu pada ketentuan UU Pemekaran, seperyi diusulkan asosiasi DPRD se-Provinsi Jambi yang meminta pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi menyelesaikan sengketa batas wilayah dengan tetap mengacu pada Undang Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pemekaran Wilayah Jambi.
Bila penyelesaian sengketa batas wilayah di daerah itu dilakukan tanpa mempedulikan aturan perundang-undangan yang berlaku, sengketa tersebut diperkirakan akan semakin meruncing.
Seperti dikatakan, Ketua Asosiasi DPRD se-Provinsi Jambi yang juga Ketua DPRD Jambi Ir H Nasrun Arbain Msi, sebelumnya, lambannya penyelesaian berbagai sengketa batas wilayah di daerah itu, karena cenderung mengabaikan mengabaikan undang-undang.
“Karena itu penyelesaian sengketa tetap menemui jalan buntu. Salah contoh buntunya penyelesaian sengketa batas wilayah pemekaran Kabupaten Bungo dan Tebo serta sengketa batas Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur,” kata Nasrun.
Menurutnya, penyelesaian sengketa itu gagal akibat tidak mempedomani peraturan yang berlaku. Kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan agar tidak menjadi semacam bom waktu yang bisa meledak. “Karena itu DPRD se-provinsi meninta agar penetapan batas wilayah pemekaran di daerah itu tetap berpedoman pada UU No. 54 Tahun 1999 tentang Pemekaran Wilayah. DPRD tidak ingin penyelesaian sengketa itu dilakukan dengan cara-cara musyawarah lagi karena hasilnya hingga kini tidak ada," tegas Nasrun.
Lebih lanjut dikatakan, kegagalan penyelesaian sengketa batas wilayah di provinsi itu selama ini juga dipengaruhi kurang dilibatkannya dewan kabupaten dan provinsi. Yang lebih banyak berperan dalam penyelesaian batas wilayah tersebut adalah Tim Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah yang sebagian besar berasal dari tokoh masyarakat.
"Untuk mempercepat penyelesaian sengketa batas wilayah itu sesuai dengan undang-undang yang berlaku Asosiasi DPRD se-Provinsi Jambi meminta pemerintah provinsi dan kabupaten melibatkan kalangan legislatif. Hal ini penting demi penegakan hukum di daerah ini. Kalau UU No 54 Tahun 1999 tidak dijadikan acuan penetapan batas wilayah, itu berarti sudah menginjak-injak hukum," tegasnya.
Apa yang terjadi di Provinsi Jambi, tentunya sisi kecil contoh sengketa batas daerah yang banyak terjadi di se-antero Indonesia, yang ditentukan banyak aspek aspek yang harus diperhitungkan.
Namuan satu hal yang penting dan menjadi PR pemerintah daerah adalah bahwa penentuan dan penegasan batas merupakan agenda yang harus dijadikan prioritas. Perangkat hukum untuk inipun telah dipersiapkan. Jika sumberdaya adalah persoalannya, maka kerjasama bisa dilakukan dengan pihak terkait seperti lembaga kajian/pendidikan, pihak swasta dan pemerintah pusat. (Saiful A.)

Tabel : Daftar Daerah yang bersengketa
No. Sengketa Batas Daerah Penyebab
01. Pemprov Jateng dan Pemprov DIY Yogyakarta Sengketa itu terjadi akibat ada daratan yang berpindah.
02. Barut-Barsel, Kabupaten Barito, Kalteng Adanya deposit minyak bumi dan gas
03. Provinsi Jambi Sengketa tapal batas, bidang kehutanan, perkebunan, kelautan, dan perikanan, hingga tata ruang
04. Banjarmasin Warga Dayak di daerah itu menolak bergabung dengan Kabupaten Tanahbumbu
05. Pemprov Jatim dengan Kab. Sumenep Potensi Gas Blok Maleo, yang berada di perairan selatan Pulau Giligenting Kab. Sumenep, diklaim masuk wilayah provinsi Jawa Timur.
06. Kab. Kebumen dan Kab. Cilacap Delta itu, merupakan daerah potensial untuk perikanan dan pengembangan ekonomi lain. Kabupaten Cilacap sendiri telah membangun Tempat Pendaratan ikan (TPI), dan pembangunan rumah burung walet.
07. Prov.Banten dam Prov. DKI Jakarta Rebutan, 22 pulau di Kepulauan Seribu

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

dikutip dari http://www.suara-daerahonline.com/rubrik_daerah2.php?id=238

Ketika Pulau Batu Puteh Diperebutkan

Selasa, 25 Desember 2007 02:08:50
Artikel Iptek

Sengketa perebutan pulau nampaknya menjadi kasus yang populer belakangan ini. Tahun ini Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) juga memutuskan kasus sengketa pulau yaitu antara Nicaragua dan Honduras dan kasus antara Nicaragua dan Colombia. Bulan lalu, giliran Malaysia berhadapan dengan Singapura untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan Pulau Batu Puteh (atau Pedra Branca), Middle Rocks, dan South Ledge. Ketiga pulau/karang ini sudah menjadi sengketa selama kurang lebih 28 tahun. Kedua negara sepakat membawa kasus ini ke ICJ setelah negosiasi bilateral menemui jalan buntu.

Bagi masyarakat Indonesia, sengketa pulau ini tentu saja mengingatkan sebuah cerita tidak menyenangkan lima tahun lalu. Indonesia tidak berhasil meyakinkan ICJ akan kepemilikannya atas Sipadan dan Ligitan sehingga kedua pulau itu akhirnya menjadi milik Malaysia. Meskipun ini bisa dicatat sebagai rapor merah diplomasi Indonesia, harus dipahami bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.

Seperti terlihat pada Gambar 1, Pulau Batu Puteh terletak di sebelah timur Singapura sejauh lebih kurang 45 km. Pulau ini berada pada koordinat 1コ 19' 48" LU dan 104 コ 24' 28" BT sejauh 14 km di sebelah selatan Malaysia dan sekitar 13 km di sebelah utara Pulau Bintan (Indonesia). Sengketa atas pulau ini merupakan salah satu alasan belum disepakatinya batas maritim antara Indonesia, Malaysia dan Singapura di perairan sekitar pulau tersebut (lihat Gambar 1).


Gambar 1 Posisi Pulau Batu Puteh dan Garis batas antara Indonesia, Malaysia dan Singapura

Sementara itu, Singapura telah mengoperasikan mercusuar Horsburgh di pulau tersebut sejak 1851 ketika Inggris masih berkuasa di kawasan itu. Meski demikian, keberadaan mercusuar itu nampaknya tidak secara otomatis membuat kedaulatan atas pulau tersebut ada pada Singapura. Dibawanya kasus ini ke ICJ mengindikasikan hal ini.

Selama proses dengar pendapat (hearing) di ICJ, Malaysia dan Singapura sama-sama mengemukakan argumen untuk meyakinkan mahkamah. Keduanya menegaskan kepemilikannya atas ketiga pulau/karang tersebut berdasarkan rantai kepemilikan (chain of title) yang didukung cerita turun temurun dan juga penguasaan efektif (effective occupation).

Dalam pandangan Singapura, adanya mercusuar yang dikelola Singapura merupakan indikasi adanya penguasaan efektif atas pulau tersebut yang secara teoritis menguatkan klaim Singapura. Meski demikian, Malaysia sendiri menyangkal hal ini karena pendirian mercusuar di pulau tersebut adalah atas ijin dari Malaysia (Johor) sebagai pemilik pulau tersebut. Menurut Malaysia, keberadaan mercusuar sama sekali tidak terkait kedaulatan melainkan murni untuk kepentingan navigasi. Dengan kata lain, kepemilikan pulau tersebut sudah jelas sebelum didirikannya mercusuar. Pembaca dapat menyimak argumentasi masing-masing negara yang didokumentasikan secara rapi di website ICJ, www.icj-cij.org.

Sementara itu, Indonesia sesungguhnya tidak terkait langsung dengan sengketa kepemilikan pulau ini. Meski demikian, keputusan atas kasus ini akan bepengaruh bagi Indonesia sebagai tetangga terdekat. Hal ini terutama karena Indonesia sendiri belum menuntaskan penetapan dan penegasan batas maritim dengan kedua negara tersebut di sekitar kawasan sengketa. Keputusan ini akan mempengaruhi masa depan perundingan batas maritim antara ketiga negara.

Indonesia sudah menyepakati batas landas kontinen (dasar laut) dengan Malaysia tahun 1969 dan batas laut territorial tahun 1973 dengan Singapura. Batas maritim ini masih belum tuntas untuk kawasan sekitar Pulau Batu Puteh yang memerlukan negosiasi lanjutan. Titik awal garis batas dengan Malaysia (P11 pada Gambar 1) berada pada koordinat 01コ 23'.9 LU dan 104コ 29'.5 BT, lebih kurang 12 km di timur laut Pulau Batu Puteh. Garis batas ini mengarah ke utara menuju Laut China Selatan. Sedangkan ujung timur garis batas maritim antara Indonesia dan Singapura (P6 pada Gambar 1) berada di koordinat 01コ 16' 10",2 LU dan 104コ 02' 00",0 BT, sekitar 42 km di sebelah barat daya Pulau Batu Puteh.

Nampak bahwa kedua garis batas maritim tersebut di atas masih belum tuntas karena ketidakjelasan kepemilikan (kedaulatan) atas Pulau Batu Puteh, Middle Rock dan South Ledge. Oleh karena itu, keputusan perihal kepemilikan ketiga pulau/karang tersebut akan sangat menentukan. Kejelasan kepemilikian pulau tersebut akan berpengaruh pada negosiasi batas maritim di masa depan. Strategi yang dipakai Indonesia untuk menghadapi Malaysia tentu akan berbeda dengan strategi untuk menghadapi Singapura.

Siapapun yang akan berhak atas pulau/karang tersebut, perlu diingat bahwa pulau/karang tersebut, menurut Konvensi PBB tentang Humul Laut (UNCLOS 1982), berhak mengklaim yurisdiksi maritim termasuk landas kontinen hingga 350 mil laut (setara 648 km) atau lebih. Hal ini tentu saja merupakan salah satu pertimbangan dalam negosiasi batas maritim di masa depan.

Negara manapun yang akan memiliki pulau itu, ketiga negara bertetangga ini perlu suatu ketika duduk bersama untuk menentukan titik temu tiga (tri-junction point) yang merupakan pertemuan antara garis batas antara ketiga negara. Di saat inilah trilateral negotiation akan memegang perangan yang sangat menentukan.

Secara umum, kemajuan yang dicapai dalam penyelesaian kasus kepemilikan Pulau Batu Puteh, Middle Rock, dan South Ledge antara Malaysia dan Singapura juga merupakan faktor penting untuk mempercepat penyelesaian sengketa batas maritim antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bagi Indonesia, penyelesaian kasus ini menjadi pemicu positif penyelesaian delimitasi batas maritim dengan sepuluh negara tetangga. Dengan tuntasnya elimitasi batas maritim, hak dan kewajiban terkait pengelolaan laut tentunya menjadi lebih jelas sehingga konflik maritim internasional bisa dikurangi.

Kini dunia sedang menunggu penyelesaian kasus ini oleh ICJ. Akankah Malaysia mengulang suksesnya seperti Sipadan dan Ligitan lima tahun lalu? Mari kita lihat sambil bersiap-siap untuk merundingkan batas maritim dengan Malaysia maupun Singapura.

Penulis adalah staff pada Universitas Gadjah Mada. e-mail: madeandi at gadjahmada.edu


dikutip dari http://www.beritaiptek.com

Hak cipta ada di penulis atau di http://www.beritaiptek.com