Rabu, 07 Mei 2008

Menyoal Sengketa Batas Wilayah

29 Oktober 2007
Menyoal Sengketa Batas Wilayah

Salah satu persoalan besar yang mendera sejumlah daerah adalah sengketa batas wilayah antar daerah. Apa sebab terjadinya sengketa itu? Dari pendapat yang berkembang di masyarakat, ada sejumlah hal yang menjadi sebab terjadinya sengketa wilayah tersebut. Batas antar daerah pada awalnya bukan masalah, sehingga tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah setempat. Namun sejak bergulirnya program otonomi daerah, maka daerah dituntut bisa menghidupi diri sendiri dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk kepentingan PAD tersebut, selain diperoleh dari retribusi dan pajak di daerah, eksplorasi sumber daya alam yang ada di daerah pun menjadi pilihan. Konon, dalam menggali SDA itulah, banyak terjadi persinggungan kepentingan, Dalam arti lain, kerap SDA itu ada diantara batas wilayah masing-masing daerah, baik Kabupaten/kota maupun antar Provinsi.
Sebab kedua, dalam kebijakan Otda yang tertuang dalam UU 22/1999 yangkemudian direvisi menjadi UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, membuka peluang bagi daerah untuk memekarkan diri, menjuadi daerah baru apakah kabupaten, kotamadya atau pun menjadi Provinsi baru. Dalam, proses pemekaran wilayah itu, banyak ‘PR’ seperti penentuan batras daerah baru dengan batas daerah lama (Daerah Induk)..
Dan institusi yang berkompeten terhadap batas antar daerah, dalam hal ini Depdagri (Departemen Dalam Negeri) mencatat ada 17 provinsi dan 52 kabupaten/kota yang belum menyelesaikan sengketa batas wilayahnya. Bahkan, dari 458 kabupaten/kota di negeri ini, kurang dari 10 persen yang mempunyai penegasan batas wilayah.
Sejumlah contoh terjadinya sengketa wilayah antar daerah, seperti yang terjadi Di Kalimantan, antara Barito Utara (Barut) dengan Barito Selatan (Barsel) juga tengah membahas sengketa perbatasan. Barsel menunjuk titik batasnya di Desa Rampamea. Sedangkan Barut di Sungai Batampang. Ikhwal sengketa batas wilayah ini terjadi sejak November 1994 saat Bupati Barut dijabat Drs HA Dj Nihin dan Bupati Barsel Drs. H. Asnawi Agani.
Sengketa itu berawal adanya kegiatan pencarian minyak yang lokasinya berada di antara wilayah Barut dan Barsel. Eksplorasi itu dilakukan kontraktor Pemintracer Petroleum Limited bekerja sama dengan Pertamina. Wilayah eksplorasi seluas 2 hektare terletak di sumur pengeboran Patas 1 ha, Ngurit, Desa Batu Raya 1 ha dan sumur pengeboran di Malungai 1 hektare.
Kemudian, sengketa wilayah sebagai ‘buntut’ program pemekaran wilayah, adalah yang terjadi Provinsi Jambi. Berdasarkan penelitian Pusat Studi Hukum Otonomi Daerah (PSHK-ODA) Jambi selama 2000 - 2002 di provinsi itu terdapat sedikitnya 16 sengketa batas wilayah dan konflik kewenangan antardaerah yang terjadi pasca pemekaran dan Otda.
Sengketa tersebut melibatkan pemerintah provinsi dengan kabupaten, kabupaten dengan kabupaten dan kota. Pastinya, sengketa tersebut meliputi sengketa tapal batas, bi- dang kehutanan, perkebunan, kelautan, dan perikanan, hingga tata ruang. Di antaranya sengketa batas Bungo dan Tebo di Kecamatan Rimbobujang, sengketa batas wilayah Tanjungjabung Barat dan Timur di Desa Pematang Lumut, sengketa tapal batas Kabupaten Merangin, Tebo, dan Bungo di Desa Batin V Kecamatan Tabir dan sengketa tapal batas Tanjungjabung Timur dengan Muarojambi di Desa Parit Culum, Kecamatan Dendang.
Lebih ironis lagi, sengketa wilayah (daerah) antara Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Sumenep, Singkatnya, pada awal 2007, ekploitasi Gas Blok Maleo yang berada di perairan selatan pulau Giligenting Kabupaten Sumenep berhasil dilakukan. Volume produksi Gas Blok Maleo itu bisa diekpoitasi hingga 10 tahun kedepan, dengan kapasitas produksi rata-rata 50 hingga 110 Juta Kaki kubik per hari.
Demikian besar volume gas Maleo, dengan tiba-tiba, sekitar Maret 2007, Provinsi Jawa Timur mengklaim blok Gas Maleo merupakan wilayah provinsi Jawa Timur. Tidak jelas, apakah klaim wilayah itu, murni inisiatif pemerintah Jawa Timur yang kemudian mengajukan kepada Depdagri untuk mengeluarkan Permendagri No. 8 Tahun 2007 tentang penetapan wilayah daerah penghasil Migas. Atau sebaliknya Pemerintah Pusat melalui Depdagri bekerja sama dengan Prov. Jawa Timur, berupaya mengklaim GasBlok Maleo.
Padahal, jelas penambangan gas Maleo itu lebih dekat ke Perairan Giligenting yang notabene masuk wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemda, maka setiap kabupaten memiliki wilayah laut sejauh 4 mil dari batas daratan terluar.
Terkait dengan persoalan batas daerah, diakui Sodjuangon Situmorang Dirjen PUM Depdagri, SDA, mengemuka, kepentingan sumber daya alam (SDA) sering Picu Sengketa Batas Wilayah. “Munculnya sengketa batas wilayah di sejumlah daerah antara lain, dipicu karena daerah memperebutkan sumber daya alam (SDA), penetapan hak pengelolaan hutan (HPH), kuasa pertambangan, dan sertifikasi tanah,” kata Sodjuangon Situmorang.
Dikatakan, saat ini setidaknya ada 17 Provinsi dan 52 Kabupaten/Kota terlibat sengketa batas daerah. “Provinsi yang bersengketa yakni: Kepri-Jambi, Kalbar-Kalteng, Kaltim-Kalteng, Sulbar-Sulteng, Gorontalo-Sulteng, Maluku Utara-Irjabar, Sumut-Riau, dan Babel-Kepri,” kata Sodjuangon Situmorang.
Untuk itu, pihaknya, meminta kepada gubernur untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah antarkabupaten/kota. Jika bisa, gubernur juga harus berada di pihak yang netral. Masukan gubernur menjadi penting untuk tim penegasan batas wilayah di pusat.
Dan menurut Direktur Administrasi Wilayah dan Perbatasan Depdagri Kartiko Purnomo, sengketa batas wilayah muncul karena ada beberapa segmen yang belum disetujui dua daerah. “Biasanya itu karena cakupan wilayah yang tumpang tindih atau terkait masa lalu,” kata Kartiko Purnomo.
Sementara menurut I Made Andi Arsana, dosen jurusan teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik UGM, persoalan batas memang multi-dimensi yang melibatkan aspek legal, teknis, dan sosial ekonomi. Sengketa batas wilayah bisa menimbulkan berbagai persoalan yang terkait setidaknya dengan ketiga aspek tersebut.
“Diberlakukannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan titik awal dilaksanakannya konsep otonomi daerah di Indonesia. Kini UU ini direvisi menjadi UU No. 32/2004 yang salah satunya mengatur penentuan dan penegasan batas wilayah baik di darat maupun di laut. Untuk mendukung ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2006 (selanjutnya disebut Permendagri) tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,” kata I Made Andi Arsana.

Beda Pemahaman
Dalam penjelasannya, I Made Andi Arsana, menjelaskan selama ini banyak daerah belum memahami, bentuk pengaturan yang ada dalam PP No. 1/2006 itu, sehingga banyak terjadi sengketa batas daerah. “Perlu diperhatikan bahwa istilah ”penentuan” dan ”penegasan” memiliki pengertian yang berbeda. Penentuan mengacu kepada penetapan batas di atas peta, sedangkan penegasan adalah penetapan titik-titik batas di lapangan,” kata I Made Andi Arsana, yang juga peneliti pada Pusat Kajian Kewilayahan dan Perbatasan FT UGM- Bakosurtanal.
Dengan kata lain, lanjutnya, penegasan adalah tindak lanjut dari penentuan batas. “Hal ini ditegaskan dalam Permendagri yang menyebutkan bahwa penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik aspek yuridis maupun fisik di lapangan (Pasal 2 ayat 1),” kata I Made Andi Arsana.
Dijelaskan, penegasan batas darat meliputi beberapa langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Dalam penegasan batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendagri pasal 4 ayat 2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa peran surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas daerah.
Terkait kewenangan daerah di wilayah laut, menurut I Made Andi Arsana, alasan perlunya batas laut adalah untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim (overlapping claim) daerah di wilayah laut. Seperti dijelaskan dalam UU No.32/2004, sebuah provinsi yang memiliki laut berhak atas kewenangan laut sejauh 12 mil laut dari garis dasar (biasanya garis pantai).
“Tentu bisa dipahami bahwa akan terjadi tumpang-tindih klaim jika ada dua provinsi berseberangan (opposite) yang berjarak kurang dari 24 mil laut atau dua provinsi yang berdampingan (adjecent) dalam satu wilayah daratan pulau seperti Jogja dan Jateng. Untuk menghindari sengketa, maka perlu ditarik garis batas yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan,” kata I Made Andi Arsana.
Permendagri, lanjutnya, juga menegaskan bawah ada 6 langkah utama yang harus dilakukan dalam penentuan batas wilayah laut yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar dan titik acuan, penentuan titik awal dan garis dasar, pengukuran dan penentuan batas, dan pebuatan peta batas. Berbeda dengan batas darat, pemasangan pilar tidak dilakukan di titik batas, yang notabene di tengah laut, tetapi di darat (pantai) yang dijadikan referensi dalam menentukan posisi titik batas maritim antar provinsi.
“Secara teknis, aspek yang sangat penting dalam penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan tekena dampak akibat adanya penegasan batas tersebut,” kata I Made Andi Arsana..
Dikatakan, untuk darat, misalnya, batas bisa ditentukan dengan unsur alam (sungai, watershed, dan danau), dan unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar batas). Penggunaan unsur-unsur alam akan mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah yang mengakibatkan bergesernya batas antara DIY dan Jateng. Namun demikian, penggunaan unsur alam ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar.
“Untuk batas dari unsur buatan seperti pilar batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi datum yang pasti sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama jika datumnya berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan. Sebaliknya, suatu posisi tertentu di lapangan bisa dinyatakan dengan koordinat yang berbeda jika datum dan sistem proyeksinya berbeda,” kata I Made Andi Arsana..
Bahkan lanujutnya, terkait dengan ketelitian posisi/koordinat titik batas, Permendagri juga sudah memberikan spesifikasi yang rinci. Ketelitian ini tentunya terkait dengan teknologi dan metode penentuan posisi yang digunakan. Penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS), yaitu penentuan posisi dengan satelit, adalah salah satu yang direkomendasikan.
“Namun demikian, penggunaan GPS sendiri harus memperhatikan jenis dan metode pengukurannya untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang disyaratkan. Pengukuran dengan GPS navigasi (handheld) seperti yang sekarang populer di masyarakat berupa peranti seukuran handphone tentu saja menghasilkan ketelitian posisi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan GPS jenis geodetik yang dilakukan secara relatif (deferensial). Tim Penegasan Batas di tingkat provinsi maupun pusat harus memahami hal ini,” kata I Made Andi Arsana.
Menurutnya, dalam era otonomi di mana luas daerah menjadi salah satu indikator dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), batas daerah menjadi sangat penting artinya. Tanpa batas yang tegas, luas tidak mungkin dihitung. Oleh karena itu, penentuan dan penegasan batas merupakan agenda penting dalam melaksanakan otonomi daerah.
“Terkait DAU, ada sebuah wacana bahwa luas wilayah yang berpengaruh terhadap besarnya DAU yang diterima suatu daerah seharusnya bukan saja luas daratan seperti yang berlaku sekarang, tetapi juga luas laut. Hal ini untuk menciptakan keadilan bagi daerah yang berbentuk kepulauan di mana luas daratannya lebih sempit dari luas wilayah laut yang menghubungkan pulau-pulau dalam provinsi tersebut. Meskipun masih wacana, hal ini telah menjadi kajian serius berbagai pihak, dan ini juga mengindikasikan bahwa penentuan (delimitasi) batas maritim antar daerah menjadi penting,” kata I Made Andi Arsana.
Menurutnya, lepas dari perhitungan DAU, penentuan batas maritim tetap harus mengacu kepada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan untuk memecah belah daerah. Bisa dikatakan bahwa penentuan batas maritim ini adalah dalam rangka menghitung luas saja, bukan dalam rangka memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk menguasai laut.


Mengacu Pada Hukum
Seperti ditegaskan Sodjuangon Situmorang, penegasan batas wilayah antardaerah adalah kewenangan pemerintah pusat sehingga harus diatur dengan PP dan Permendagri. "Karena, ini adalah masalah teritorial negara. Selain itu, gubernur seyogyanya memfasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah antarkabupaten/kota. Jika bisa, gubernur juga harus berada di pihak yang netral. Masukan gubernur menjadi penting untuk tim penegasan batas wilayah di pusat,” kata Sodjuangon Situmorang.
Sebagai contoh, sengketa batas daerah sebagai buntut dari proses pemekaran wilayah, seyogyanya tidak berlarut-larut, seperti batas wilayah Provinsi Jambi. Untuk menyelesaikannya, disarankan agar mengacu pada ketentuan UU Pemekaran, seperyi diusulkan asosiasi DPRD se-Provinsi Jambi yang meminta pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi menyelesaikan sengketa batas wilayah dengan tetap mengacu pada Undang Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pemekaran Wilayah Jambi.
Bila penyelesaian sengketa batas wilayah di daerah itu dilakukan tanpa mempedulikan aturan perundang-undangan yang berlaku, sengketa tersebut diperkirakan akan semakin meruncing.
Seperti dikatakan, Ketua Asosiasi DPRD se-Provinsi Jambi yang juga Ketua DPRD Jambi Ir H Nasrun Arbain Msi, sebelumnya, lambannya penyelesaian berbagai sengketa batas wilayah di daerah itu, karena cenderung mengabaikan mengabaikan undang-undang.
“Karena itu penyelesaian sengketa tetap menemui jalan buntu. Salah contoh buntunya penyelesaian sengketa batas wilayah pemekaran Kabupaten Bungo dan Tebo serta sengketa batas Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur,” kata Nasrun.
Menurutnya, penyelesaian sengketa itu gagal akibat tidak mempedomani peraturan yang berlaku. Kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan agar tidak menjadi semacam bom waktu yang bisa meledak. “Karena itu DPRD se-provinsi meninta agar penetapan batas wilayah pemekaran di daerah itu tetap berpedoman pada UU No. 54 Tahun 1999 tentang Pemekaran Wilayah. DPRD tidak ingin penyelesaian sengketa itu dilakukan dengan cara-cara musyawarah lagi karena hasilnya hingga kini tidak ada," tegas Nasrun.
Lebih lanjut dikatakan, kegagalan penyelesaian sengketa batas wilayah di provinsi itu selama ini juga dipengaruhi kurang dilibatkannya dewan kabupaten dan provinsi. Yang lebih banyak berperan dalam penyelesaian batas wilayah tersebut adalah Tim Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah yang sebagian besar berasal dari tokoh masyarakat.
"Untuk mempercepat penyelesaian sengketa batas wilayah itu sesuai dengan undang-undang yang berlaku Asosiasi DPRD se-Provinsi Jambi meminta pemerintah provinsi dan kabupaten melibatkan kalangan legislatif. Hal ini penting demi penegakan hukum di daerah ini. Kalau UU No 54 Tahun 1999 tidak dijadikan acuan penetapan batas wilayah, itu berarti sudah menginjak-injak hukum," tegasnya.
Apa yang terjadi di Provinsi Jambi, tentunya sisi kecil contoh sengketa batas daerah yang banyak terjadi di se-antero Indonesia, yang ditentukan banyak aspek aspek yang harus diperhitungkan.
Namuan satu hal yang penting dan menjadi PR pemerintah daerah adalah bahwa penentuan dan penegasan batas merupakan agenda yang harus dijadikan prioritas. Perangkat hukum untuk inipun telah dipersiapkan. Jika sumberdaya adalah persoalannya, maka kerjasama bisa dilakukan dengan pihak terkait seperti lembaga kajian/pendidikan, pihak swasta dan pemerintah pusat. (Saiful A.)

Tabel : Daftar Daerah yang bersengketa
No. Sengketa Batas Daerah Penyebab
01. Pemprov Jateng dan Pemprov DIY Yogyakarta Sengketa itu terjadi akibat ada daratan yang berpindah.
02. Barut-Barsel, Kabupaten Barito, Kalteng Adanya deposit minyak bumi dan gas
03. Provinsi Jambi Sengketa tapal batas, bidang kehutanan, perkebunan, kelautan, dan perikanan, hingga tata ruang
04. Banjarmasin Warga Dayak di daerah itu menolak bergabung dengan Kabupaten Tanahbumbu
05. Pemprov Jatim dengan Kab. Sumenep Potensi Gas Blok Maleo, yang berada di perairan selatan Pulau Giligenting Kab. Sumenep, diklaim masuk wilayah provinsi Jawa Timur.
06. Kab. Kebumen dan Kab. Cilacap Delta itu, merupakan daerah potensial untuk perikanan dan pengembangan ekonomi lain. Kabupaten Cilacap sendiri telah membangun Tempat Pendaratan ikan (TPI), dan pembangunan rumah burung walet.
07. Prov.Banten dam Prov. DKI Jakarta Rebutan, 22 pulau di Kepulauan Seribu

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

dikutip dari http://www.suara-daerahonline.com/rubrik_daerah2.php?id=238

Tidak ada komentar: